Dieng, Dataran Tinggi Vulkanis Tertinggi Di Jawa

Cerita ini adalah kelanjutan dari perjalanan saya dari Yogya - Borobudur - Dieng sendirian. Pagi kala itu, saya sudah selesai menikmati sunrise di Borobudur, lalu mengambil sarapan di Hotel Manohara. Sopir mobil sewaan dan putrinya yang ikut menemani akan kembali ke parkiran pukul 07:30 pagi. Setelah mereka sampai, saya bergegas naik dan melanjutkan perjalanan ke Wonosobo, yaitu Dataran Tinggi Dieng.
This story was a part of my solo semi-backpacking trip Yogya - Borobudur - Dieng.That morning, I did enjoying Borobudur Sunrise package from Manohara Hotel and take my breakfast. The rent car's driver and his daughter accompanying him will returned to the parking area at 07:30. Once they arrived, I quickly get in the car and continue to next destination, which is Dieng highland in Wonosobo. 
Kebersahajaan Dieng // Dieng's Serenity

Perjalanan memakan waktu 2.5 jam, dimana akhirnya saya sampai ke pos perbatasan Kota Wonosobo untuk membeli tiket masuk kawasan wisata. Lalu dilanjutkan 45 menit perjalanan mendaki hingga sampai ke Gardu Pandang Tieng (Dieng). Kami berhenti sebentar disini untuk membeli perbekalan minuman dan ke toilet. 
The road trip took 2.5 hours driving the inter-city road to reached the border of Wonosobo border to Dieng. We have to buy the ticket for entering tourism area. Then followed 45 minutes ascending road to reached Tieng (Dieng) Viewing Shelter. We stopped here for a while to buy water stock and went to toilet. 
Gardu Pandang Tieng // Tieng's Viewing Shelter
Pemandangan Dieng dari atas gardu // Dieng's view from the shelter

Tujuan pertama saya adalah Kawah Sikidang. Disebut Kawah Sikidang karena konon lokasi kawah ini berpindah-pindah seperti kidang (kijang). Tidak ada hal mistis mengenai perpindahan tersebut karena daerah ini merupakan kawah yang luas. Dari sela bebatuan pun terdapat lubang air yang bergolak dan mengeluarkan uap air dan belerang. Di beberapa tempat, terdapat tanah yang labil dimana di bawahnya kemungkinan terdapat kawah yang bergejolak sehingga terasa bergetar. Kawah terbesar terletak agak jauh dan berisi lumpur bergejolak. Kadang dari gejolaknya terlihat percikan api yang menandakan lava mungkin sangat dekat dari permukaan. 
My first destination was Sikidang Crater. They named it Sikidang for Kidang (Deer) association due its location tends to changed over time. There was nothing mystically about it, because this area is a large crater indeed. From the cleavage of rocks I saw boiling water came out producing steams and sulphuric gases. In many places, the ground seems unstable that there may be crater beneath the ground we step that makes the ground vibrating. The largest pool located in the afar and contained boiling mud. Using polarized sunglasses, through the fog of steam it produced, I thought I saw a fire trails from the boiling mud that indicate the lava may be close from the surface. 
Kawah Sikidang // Sikidang Crater
Lubang gas belerang // An outlet of sulphuric gas

Perjalanan saya lanjutkan ke Telaga Warna. Disini sebenarnya hanya danau yang berasal dari limpahan air kawah yang mengandung kapur dan belerang sehingga menghasilkan gradasi warna putih, hijau, biru, tosca, lalu coklat yang merupakan dasar tanah dari danau itu sendiri. Permukaan danau ditutupi kabut uap yang mengindikasikan air danau hangat. Di sebelah danau ini ada Danau Pengilon yang berwarna coklat tua, serta beberapa goa di sekitarnya, namun tidak saya kunjungi saat itu. Disini saya bertemu cabai gendot (habanero) yang ditanam di Indonesia pertama kali, serta buah Carica yang sebenarnya pepaya kerdil. 
I continued my trip to Telaga Warna (Colorful Lake). This lake has the colors gradation from white, green, blue, tosca, then brown as the base color of the lake's bed. The lake surface is covered by thin fog that indicated it was in elevated temperature. Aside this lake, there was dark brownish Lake Pengilon  and a few short caves nearby that I didn't visit. There was the first time I met Gendot pepper (Local Habanero cultivated) and the midget papaya called Carica. 
Telaga Warna Dieng // Dieng's Colorful Lake

Tujuan berikutnya yaitu Kompleks Candi Arjuna. Sebenarnya terdapat beberapa obyek disini seperti museum, teater, dan candi lainnya, namun yang paling terkenal dan menjadi ikon Dieng adalah Candi Arjuna. Terdapat beberapa candi yang sebagian masih terlihat utuh dan sebagian sudah agak hancur. Petugas lokal mengatakan candi-candi ini melambangkan kasta.
The next destination is Arjuna Temples. There are many tourism objects nearby like museum, theatre, and other temples, but the icon of Dieng is the Arjuna Temples. Yes, Temples, because there were some temples in this area in various condition, some were well preserved, some were in repair. The locals here told me that the temples were resemble the people's classification order. 
Kompleks Candi Arjuna // Arjuna Temples Area

Hampir pukul 13:30, kami memutuskan untuk makan siang berupa sate kambing. Daerah vulkanis yang subur tampaknya membuat semua tanaman disini menghasilkan ukuran panen yang besar, misalnya kentang dan yang saya lihat di kedai sate, yaitu cabai rawit. Selesai makan siang, saya lanjutkan perjalanan ke Kawah Sileri. Kawah ini sudah tidak aktif namun sejarahnya letusan kawah ini pernah mengeluarkan gas vulkanis beracun ke desa sekitar lalu menewaskan banyak penduduk. 
It was around 13:30 so we decided to lunch at nearby lamb satay stall. The rich volcanic soil here made every crops turned to extra large size, for example the potatoes and local chili pepper I found in that satay stall. After lunch, we continued to Sileri Crater. This dormant crater once had killed many villagers nearby due to its explosion which releasing poisonous volcanic gases. 
Kawah Sileri // Sileri Crater
Cabai rawit super // Extra Large Chili Pepper

Lalu saya lanjutkan ke Kawah  Jalatunda, yaitu sebuah kawah vulkanis mati yang dalam, sehingga terlihat seperti sumur. Oleh penduduk sekitar lebih dikenal sebagai Sumur Jalatunda. Ada mitos dimana jika kita berhasil melempar batu dan mengenai dinding sumur di seberang (kumpulan bunga kuning) dalam tiga lemparan sambil mengucapkan keinginan, maka keinginan kita akan terkabul. Saya tidak percaya mitos tersebut namun memang sulit mengenai dinding di seberang itu.
Then I continued to Jalatunda crater. This crater was also dormant volcanic crater which is deep so the local called it as a well, Jalatunda Well. There was a myth that if we successfuly throw hand sized rock to the crater wall beneath while saying our wish, to the area full of yellow flowers, within three opportunity, our wish might be granted by the ancients. I didn't believe the myth but it was hard work or I can say impossible to successfuly hit that wall by throwing it using bare hand. 
Sumur Jalatunda // Giant Well of Jalatunda
Air terjun panas menuju kawah Chandradimuka // Hotspring at the midway to Chandradimuka Crater

Tujuan terakhir saya adalah Kawah Chandradimuka. Di perjalanan ke Kawah ini, saya melihat ada air terjun panas yang merupakan luapan air kawah Chandradimuka. Kawah ini terlihat paling aktif di antara lainnya dan tidak bisa didekati karena pekatnya kabut dan tajamnya aroma belerang yang bisa membuat pingsan. Terdapat peringatan untuk memakai masker jika ingin turun ke kawah melalui tangga, namun karena saya tidak membawanya, saya berhenti sampai batas pagar terakhir saja. 
The last destination here is Chandradimuka Crater. On the midway to the Crater, I saw hot spring waterfall from Chandradimuka water streams. These craters were seemed the most active crater around Dieng indicated by thick fog of steams and strong sulphuric odor that can make people fainted. There was a warning to put gas mask if we intended to walk downstair into the crater, but because I didn't prepare any, I stopped at the stair where the fences has ended. 
Ujung batas jalan berpagar // The end of stairs with fences
Kawah Chandradimuka // Chandradimuka Crater

Pada perjalanan kembali ke Kota Yogya, kami mampir dulu ke Mie Ongklok Wonosobo dan Sate Sapi khas daerah ini. Kami sampai di Magelang pada sore hari dan sempat mengunjungi Candi Mendut. Lalu kami tiba di Yogyakarta hampir jam 18:00, dimana kami mampir sebentar di batu monumen lokasi terdampak lahar dingin dahsyat Merapi di desa Gempol. 
In the midway of our return to Yogya, we visit the restaurant served the signature dishes of Wonosobo, Ongklok Noodles and Beef Satay. We arrived at Magelang in the afternoon that we visited Mendut Temple in the midway. Then we arrived at Yogyakarta at nearly 18:00 that we visit the monumental stone of disastrous lava flooding Merapi at Gempol Village.
Di Lobby Sheraton Yogyakarta // Lounging at the lobby of Sheraton Yogyakarta