Setelah dua hari melakukan pelayaran di perairan Lombok Timur dan Bima, dimana Pulau Satonda menjadi titik perpisahan kami dengan daratan Nusa Tenggara Barat dan kapal pinisi kami terus melaju ke arah timur. Seolah melepaskan kepergian kami, Pulau Tambora yang memiliki gunung yang megah, memunculkan pelangi yang indah hingga sempurna setengah lingkaran, yang kedua ujungnya sempurna juga menghujam ke laut. Di balik mendung, Puncak Tambora yang gagah disinari oleh cahaya sunset sore itu hingga akhirnya pemandangan sunset yang sempurna di tengah lautan sebelah barat dari buritan belakang kapal, seolah juga mengucapkan selamat jalan.
2. Akhirnya Kepulauan Komodo : Pulau Gili Lawa Darat (Gili Laba) dan Pink Beach.
Malam hari ketika kapal melewati Selat Sape, saya terbangun. Cipratan air laut mengenai wajah saya ketika sedang tidur. Saya lihat teman-teman yang lain masih terlelap, dan ketika perlahan saya tersadar, saya pun merasa kapal ini oleng ke kanan dan ke kiri. Sambil mengintip di terpal yang sengaja ditutup agar kami tidak diterpa cipratan ombak atau hujan, tidak terlihat apa-apa karena hari masih gelap, masih pukul 03:00 pagi. Ya saya pun memutuskan bangun dan sambil melangkah hati-hati di lorong yang penuh dengan teman-teman yang tidur di posisi lorong, serta goyangan kapal yang membuat keseimbangan badan terganggu, saya akhirnya sampai di ruang kemudi kapal. Di depan tidak terlihat apa-apa, namun dari posisi GPS kapal, kami saat ini sudah berada di perairan Selat Sape, yang terkenal karena ombaknya yang liar dan arusnya yang deras. Nahkoda kapal yang ternyata terkantuk-kantuk mengatakan bahwa kemungkinan kita akan on-time sampai ke Gili Lawa Darat atau juga dikenal sebagai Gili Laba, pada saat sunrise. Setelah mengobrol sebentar saya melanjutkan tidur dan set alarm di jam 05:00 pagi.
|
Matahari terbit di Pulau Gili Lawa, dari Selat Sape |
Pagi itu, saya adalah orang pertama yang bangun, karena saya punya kebiasaan untuk "nyetor" ketika bangun tidur. Kalau bangun agak siang, tentu saja akan mengantri sebab kamar mandi cuma ada 2, sedangkan jumlah kami begitu banyak. Setelah cuci muka dan sarapan bekal yang saya bawa, saya langsung menuju ke anjungan kapal dan minum teh hangat sambil menunggu sunrise. Kamera olympus TG3 sudah berada di atas tripod, dan saya mencoba membuat video timelapse. Ternyata sunrise berada di sisi kiri kapal berarti kami sudah mengarah ke selatan. Di depan samar-samar terlihat pulau-pulau dan ya memang kami sudah memasuki perairan Pulau Komodo. Kapal pun sudah tidak ngebut seperti semalam, dan setelah saya tanya Wuki, rencana berubah, targetnya memang bukan sunrise di atas bukit, jadi santai saja. Sarapan pun disiapkan, seperti biasa, pancake pisang yang ditaburi gula pasir dan dilumuri susu kental manis coklat. Saya pun siap-siap juga dengan mempacking semua peralatan kamera saya di tas ransel kamera Consina berwarna camo, cocok untuk aktivitas wildlife. Di perjalanan memasuki perairan Kepulauan Komodo ini, kapal kami disambut sekawanan besar lumba-lumba hidung botol, yang suara cicitannya terdengar dari atas anjungan kapal.
|
Trekking Gili Laba |
Kapal pun buang jangkar dan saatnya kami bersiap turun dan menggunakan boat untuk menuju Pulau Gili Laba. Sudah ada Kapal yang merapat disini dan saya yakin itu kapal dari Labuan Bajo. Kapal sebesar kami isinya cuma satu keluarga bule sekitar sepuluh orang, enak betul. Saya yang sudah siap dari tadi mengambil posisi agar turun pertama kali. Saat itu rombongan pertama adalah saya, Atar, Zhafir, Melda, Hendra, Rico, dan Rima. Atar yang maniak lari melaju kencang di jalur tanjakan curam menuju puncak bukit Gili Laba, diikuti saya, Zhafir dan Rico. Kami melaju menyalip rombongan keluarga bule itu dan sampailah kami di atas pada timing yang tepat, saat masih golden hour. Tidak pakai lama, tripod yang saya pakai sebagai trekking pole yang sudah tertancap kamera olympus mulai mengambil video selfie hehehe. Kamera 70d dan 24-105L pun sudah siap mengalungi leher. Benar kata orang-orang kalau Kepulauan Komodo itu surganya bagi pecinta fotografi. Kemana mata memandang, ini surga bung!.
|
Gili Laba (Gili Lawa Darat) dari puncak bukitnya, lumayan terjal kan? |
Rombongan bule dan teman-teman yang lain pun datang, rata-rata membawa tongsis dan go pro dan mulai bernarsis ria di atas bukit itu. Mereka sepertinya sudah cukup puas untuk sampai puncak bukit itu, namun saya masih penasaran dengan jalur trekking yang jelas terlihat ini. Saya tanya Wuki, kita disini sampai jam berapa? Katanya jam 09:00, maka saya rasa cukup waktu bagi saya untuk menjelajahi jalur trekking itu dan sampai di pantai lagi sebelum jam 09:00. Saya pamit ke Wuki dan menjelajahi jalur trekking sementara yang lain masih riuh narsis dengan tongsis dan gopro masing-masing. Kali ini di kepala tripod terpasang kamera dslr, dan tripod masih menjadi trekking pole.
|
Gili Lawa Darat (Gili Laba) ke arah Barat, terlihat laguna tersembunyi disana |
Keputusan saya tepat. Banyak sisi indah lainnya di Pulau Gili Laba kalau kita mau menjelajahinya. Mirip dengan Indonesia, banyak sisi indah yang hanya bisa kita alami kalau kita mau menjelajahinya. Di balik bukit ada laguna dan ada kapal pinisi yang bersandar disana. Tampaknya kapal itu penghobi night diving, karena kalau saya jadi mereka, laguna adalah tempat terbaik untuk aktivitas itu. Berjalan terus terlihat dua elang laut besar yang terbang sangat rendah mengelilingi bukit dimana saya berada yang ditumbuhi ilalang setinggi leher. Peduli setan kalau ada komodo disini, karena yang saya baca, disini tidak pernah ada riwayat komodo. Saya berjalan terus menjejak jalur dan sempat hampir salah jalur ketika dihadapkan dengan jalur yang terjal. Saya balik arah dan mencoba jalur lain. Trekking lumayan jauh dan hambatan lainnya adalah terik panas matahari NTT yang serasa 3 kali lebih panas dari pulau Jawa, bahkan masih pagi seperti ini sudah terasa mambakar. Saya pernah tinggal di lingkungan seperti ini dulu, malah merasa kegirangan dan seperti kembali ke masa kecil saat masih SD dan insting menjelajah saya sangat kuat. Sekitar pukul 08:45 saya sudah sampai kembali di pantai, bahkan orang pertama yang sampai di pantai. Teman-teman yang lain yang tidak mengambil jalur trekking kelihatan kesusahan menuruni bukit jalur kita naik pagi tadi karena cukup terjal. Beberapa teman yang lain kelihatannya ada yang mengikuti jejak saya, bahkan Zhafir yang tiba-tiba ada di belakang saya bilang kalau saya adalah trendsetter, karena gara-gara saya, yang lain yang tadinya ragu-ragu ke jalur trekking, jadi percaya kalau mereka tidak akan tersesat, karena buktinya saya bisa dan sampai di pantai dengan selamat. Saya sendiri juga bilang kalau saya juga tidak tahu jalannya kok, nekat saja lol. Terbukti rombongan Budi sepertinya juga menemukan jalur yang menuju tebing terjal seperti saya, bedanya mereka sempat turun sebelum putus asa karena memang tebingnya terlalu terjal. Wuki sebagai tour leader juga bingung menanyakan apakah saya pernah kemari (hehehe).
|
Dua elang laut besar yang kelihatannya bersarang di Pulau ini |
Setelah terkumpul beberapa orang, kami memanggil kapal jemputan supaya mengantarkan kami kembali ke Kapal Pinisi. Setelah terkumpul semua, saya menunjukkan kepada mereka hasil foto saya selama trekking dan mereka akhirnya menyesal tidak mengambil jalur trekking tadi, karena mereka hanya dapat view di puncak Gili Laba saja, yaa bisa datang lain kali lah. Kapal pun menuju selatan ke arah Pulau Komodo, namun tujuan kami adalah ke Pink Beach. Di perjalanan menuju Pink Beach, pulau-pulau di kiri kanan sama seperti sewaktu dulu, hanya berupa pulau bebatuan yang ditumbuhi savana dan sangat sedikit pohon. Adanya pohon pun hanya sekedar pohon buah kom. Benar-benar pemandangan yang khas dari daerah timur. Belum lagi banyak penyu yang berenang di permukaan dan ketika kapal kami lewat, langsung menyelam menghilang ke dasar laut. Mirip sekali sewaktu saya di Derawan.
|
Pink Beach dari atas bukit |
Tidak lama kami sampai di dekat Pantai Pink (Pink Beach). Saya sudah siap dengan setelan rushguad, celana pendek, booties, mask, snorkel dan fin Cressi Pro-light series, namun karena panggilan alam, saya baru keluar ketika sudah angkutan perahu ketiga. Tiba-tiba anak-anak penduduk Pulau Komodo merapatkan sampannya ke kapal kami, memanjatnya dan menjajakan kalung mutiara, pahatan patung kayu komodo, dan kerajinan dari kulit kerang. Karena kasihan, saya membeli patung pahatan Komodo seharga Rp. 50 ribu, yang ternyata di pusat penjualan suvenir nanti, patung tersebut dihargai sekitar Rp. 250rb.
|
Anak-anak pulau yang mendatangi kapal kami di tengah laut menggunakan sampan, lalu menjajakan dagangan pahatan kayu berbentuk komodo, kalung mutiara, dan kerajinan kulit kerang |
Saya rupanya telat, rombongan freediver Malaysia dan Wuki sudah turun dari kapal dan ke sisi kiri pantai. Tadinya saya ingin menyusul kalau tidak dicegah oleh kru kapal karena arus disini bisa kencang dan yang paling aman di pantai Pink karena secara teknis, pantai Pink adalah cekungan dari perairan deras. Kru kapal menyarankan saya ikut kapal motor saja ke pantai. Di pantai saya langsung snorkeling di sekitar Pink Beach dan saya kecewa karena meskipun ikannya besar-besar dan koralnya lebih kaya dari Pulau Satonda, namun airnya dangkal sehingga dengan berdiri pun sudah bisa keluar dari permukaan air. Akhirnya teman-teman yang belum lancar berenang dengan fin, berdiri di karang dan mengibas-ngibaskan finnya ke pasir sehingga air laut menjadi keruh. Karena tidak menyenangkan lagi snorkeling disini, saya kembali ke pantai dan ngobrol dengan kru kapal dan penduduk lokal yang menjajakan mutiara. Sedikit tawar menawar, saya berhasil menawar kalung mutiara besar-besar berwarna pink untuk adik perempuan saya di rumah, seharga Rp.100rb. Mereka menjamin keaslian mutiaranya dengan membakar mutiara tersebut dan tidak gosong atau meleleh. Wah great deal nih, karena nanti di pusat suvenir di Labuan Bajo atau di Pulau Komodo/Rinca nanti harganya bisa mencapai Rp. 400-500rb bahkan jutaan.
|
Ikan badut (clownfish) di anemon sekitar Pantai Pink (Pink Beach) |
Saya pun mendaki bukit Pink Beach dan mengambil foto view Pink Beach dari atas bukit itu. Ada stasiun meteorologi di atas. Dan di belakang bukit, terlihat bahwa pantai ini berada di Pulau Komodo, Pulau terbesar di Kepulauan Komodo ini yang berpenghuni komodo. Sayangnya tidak ada larangan bagi pengunjung untuk melangkah lebih jauh ke dalam pulau Komodo, namun dari kesadaran sendiri, sepertinya tidak akan ada yang nekat menuju kesana. Sekedar tips, kalau mau naik kesini sebaiknya membawa sendal, karena saya yang menggunakan booties, akhirnya jadi licin dan sering kepleset dan ketika bertelanjang kaki, panasnya sudah seperti menempel ke penggorengan (ini beneran).
|
Lampu sinyal reflektor penanda daratan |
Siangnya kami kembali ke kapal untuk makan siang sambil menuju ke Pulau Padar. Kami mengitari perairan Kepulauan Komodo karena sebenarnya kapten kapal belum familiar dengan arah menuju Pulau Padar. Pengalaman kesini sebelumnya, sang nahkoda salah parkir kapal di sisi Pulau Padar yang belum pernah dibuka jalurnya untuk ke puncak Pulau Padar. Kali ini dicari arah ke sisi pulau sebaliknya dari titik labuh yang dulu itu. Di tengah perjalanan, terlihat seekor paus menyemburkan air dari lubang napasnya. PAUS!! Ya, ini benar-benar dejavu perjalanan saya waktu kecil, saya melihat PAUS!!!. Kapal pun diarahkan menuju lokasi semburan tadi, namun pausnya sepertinya sudah menyelam jauh ke kedalaman lautan. Saya jadi terpikir suatu waktu nanti saya akan datang lagi ke NTT khusus ke perairan Lamalera Lembata yang terkenal dengan budaya penangkapan pausnya itu (yang kini hanya berupa perayaan simbolik, namun populasi paus bungkuk masih banyak lewat disana). Atau ke Teluk Cenderawasih Papua Barat atau Biduk-Biduk di Kalimantan Timur, dimana bisa bertemu dengan hiu paus.
|
Seekor paus bungkuk muncul ke permukaan dan menghembuskan air dari lubang napasnya |
Tidak memakan waktu lama, akhirnya kami menemukan beberapa kapal yang parkir di Pulau Padar, artinya kami sampai di titik labuh yang tepat. Rencananya kami akan menikmati sunset disini sekaligus bermalam di titik labuh.