Matahari terik menyengat di atas kepala, khas suasana pulau. Pendakian kami pagi ini ke Gunung Anak Krakatau, sedikit diwarnai rasa was-was karena kawah gunung ini menyemburkan asap tebal terus menerus. Meskipun pendakian ini tidak diperbolehkan sampai puncak, namun hanya punggungan bukit pasir berbatu yang berwarna agak kekuningan, sebelum lereng volcano yang sebenarnya, tenaga kami cukup terkuras. Ya, terkuras, karena tema perjalanan kali ini adalah freediving, berbeda dengan kunjungan saya setahun sebelumnya yang hanya sekedar sightseeing. Hari ini adalah hari kedua, dimana sehari sebelumnya kami menjelajah perairan di sekitar Pulau Sebuku dan Sebesi.
Burning sun was bright ahead of my head, typical day in island. Our tracking this morning to Son of Mt. Krakatau was accompanied by fear of volcanic activity, because this mount produces thick smoke from its crater. Even the tracking was not allowed to reach the summit, our stamina was already drained. It was our previous day activity, freediving all day long around islands near Mt. Krakatau. That day was second day of two days frediving trip with freediving community from Bandung.
Gunung Anak Krakatau yang terus menerus mengeluarkan asap // Son of Mt. Krakatau producing thick smoke |
Freediving sederhananya adalah menyelam dengan kekuatan menahan napas. Tidak sembarangan menyelam, karena olahraga ini mempunyai dasar teknik yang sama dengan menyelam scuba. Namun karena keterbatasan kemampuan menahan napas dan manajemen udara di paru-paru, daya jelajah seorang freediver berbeda-beda, sesuai dengan kemampuannya. Asosiasi freedive di dunia adalah AIDA, kalau di Indonesia, mungkin termasuk di POSSI.
Freediving is a type of diving using the ability of breath-holding alone. This sport has a specific technique, eventually similar with the ones with SCUBA. But, because of different breath-holding ability, the diving capacity of one person will be different with others. Freedive association around the world is AIDA, in Indonesia, it might be included in POSSI.
Kepiting berwarna gelap sesuai dengan warna pasirnya // The crabs here were black as the black sand they lived |
Setelah makan siang ditemani tawon-tawon penunggu pantai Gunung Anak Krakatau, kami menyusuri pasir pantai hitam khas pasir vulkanik menuju ke Kapal. Tour leader kami memberitahu, tujuan berikutnya adalah spot diving Lava Flow Krakatau. Awalnya saya kaget, apakah maksudnya yang seperti di Kilauea Hawaii dimana aliran lava pijar bertemu deburan ombak? Yak ternyata benar, bedanya sudah tidak ada lava pijar.
After lunch accompanied with ferocious hornets in Mt. Krakatau beach, we get into the boat. The skipper told us the next freedive destination will be Mt. Krakatau lava flow. At first I was shocked and ask whether the lava flow he meant was the same with the ones in Kilauea Hawaii, where lava flow is going into the sea? Well yes it was. The different this is, there will not be molten lava.
Freedive di Krakatau Lava Flow // Freedive in Lava Flow Krakatau |
Apa yang mau dilihat dari gundukan lava beku di bawah air? Bukankah lebih baik kalau langsung saja ke Lagoon Cabe, yang sudah jelas keindahan terumbu lagunanya? Ternyata saya salah besar, saya mungkin 4 orang pertama yang terjun pertama kali dan langsung disambut gerombolan hiu di dasar laut di bawah kapal. Semakin banyak yang turun, hiu-hiu tersebut berenang menjauh ke laut yang lebih dalam. Hal ini membuktikan bahwa hiu bukan hewan agresif seperti yang didoktrin film Holywood dan film Warkop DKI. Gundukan lava menyebabkan dinding curam di tepi pantai, berbatu hitam karena jelas ini batuan beku andesit langsung dari perut bumi. Yang menakjubkan adalah, kawasan ini kaya dengan terumbu dan ikan hias yang berbeda dengan di laguna. Sebut saja ikan moorish idol dan ikan royal blue tang, dan clown fish, mirip adegan di Finding Nemo. Koral kipas dan hard coral tumbuh di bebatuan yang dulunya adalah cairan kental berpijar. Karena pasir berwarna hitam, pemandangan bawah laut di sini terbilang lebih jernih dibandingkan di Sebuku, dimana lebih sering menjadi keruh akibat teknik finning yang salah, sehingga mengaduk-aduk pasir di bawahnya.
What to be seen in the solidified lava rocks underwater? well I was wrong. The ecosystem was developed on the lava rocks. I am the first four of freedivers that got into the sea and saw shark schooling near sea bed under our boat. The more freedivers got into water, they slowly swimming away to the deeper water. It was the prove that shark is not aggressive animals that attacking human as characterized in Hollywood movies and comedy film Warkop DKI. The fallen lava produced steep walls, black rocks, and most of them are sharp but fragile. This area is rich with creatures, such as anemone, corals, fish, lets say moorish idol, royal blue tang, and clown fish that apparently the same with the characters in animated movie Finding Nemo. Fan coral and other hard coral also seen here. Because the sands were black, underwater scene here has more clarity if compared with the one in Sebuku, where wrong finning technique disturb sands on sea bed thus reduce the visibility
Moorish idol and Royal Blue Tang |
Mengenai Gunung Anak Krakatau
Gunung Anak Krakatau merupakan hasil reinkarnasi Gunung Krakatau yang meletus hebat tahun 1883. Letusan tersebut melenyapkan seluruh gunung dan menenggelamkannya ke dasar laut. Dari aktivitas erupsi di kalderanya, tahun 1927 Gunung Anak Krakatau muncul ke permukaan laut untuk pertama kalinya dan terus tumbuh hingga ketinggian lebih dari 200m seperti sekarang ini. Ekosistem baru muncul secara alami di Gunung ini, yang secara harafiah menggambarkan pertumbuhan ekosistem saat bumi baru terbentuk, sehingga menarik para peneliti dari penjuru dunia. Karenanya keaslian ekosistem di area ini adalah harga mati.
About The Son of Mt. KrakatauThe Son of Mt. Krakatau is a reincarnated form of mighty Mt. Krakatau that erupted violently in 1883. That eruption destroy entire mount to below sea level. Because of continuous volcanic activity in its caldera, the volcanic material began to fill the caldera and keep filling it until the new land emerged in 1927. That land with intense volcanic activity continue to fill itself and form the new volcano until it reach the height of approx. 200m nowadays. New ecosystem developed naturally in which reflecting the formation of primitive ecosystem when the earth is formed. This phenomenon attracts the researcher all over the world. Because of that, the ecosystem is kept native in here.
Menuju Kesana
Untuk menuju ke Gunung Anak Krakatau bisa ditempuh melalui Pantai Anyer di Banten dan Pantai pelabuhan tradisional di Lampung Selatan. Dari Anyer, perjalanan dengan kapal kayu ukuran sedang bermesin "dong feng" memakan waktu 7 jam perjalanan sekali jalan. Umumnya dari titik ini adalah paket perjalanan pulang-pergi tanpa menginap. Dari Pantai Canti atau Kalianda, memakan waktu 3 jam ke Pulau Sebesi, pulau yang terdapat penginapan penduduk. Dari Pulau Sebesi, perjalanan ke Gunung Anak Krakatau memakan waktu 3.5 jam perjalanan. Umumnya dari titik ini adalah paket perjalanan menginap di Pulau Sebesi. Untuk menginap/berkemah di Pulau Gunung Anak Krakatau sebenarnya tidak diperbolehkan, karena status Anak Krakatau sebagai Cagar Alam. Perjalanan ke Canti/Kalianda sendiri memakan waktu tidak sebentar, yaitu 3 jam perjalanan dengan Kapal Roro ASDP Merak ke Bakauheni di Lampung, dilanjutkan perjalanan darat selama 1.5 jam.
How To Get There
To get there, the starting point can be Anyer beach in Banten or Traditional fishing village in South Lampung. From Anyer, the cost will be higher but suitable with small group travelers. The journey will be taken by boat and taking 7 hours trip one way. Usually from Anyer, the tour will be returned in the same day. From South Lampung, usually from Kalianda or Canti (3 hours Ferry trip from Merak Harbor and 1.5 hour road trip from Bakauheni Harbor), it will take 3 hours by boat to Sebesi island, where there are lodging facilities available for rent. From Sebesi, it will take another 3.5 hours by boat to The Son of Mt. Krakatoa island. To camp in Krakatoa island is prohibited because its status as conservation area.
Clown fish in Sebesi Island |