Travelling

Exploring Indonesian's magnificent places is my passion

Mountain Bike

The most exercise I did during my free time

Photography

To capture the beauty of the places I've visited

Culinary

The other reason why I love to go traveling

Engineering

Because big dreams never come so easy

Moto-Adventure

Graze the road and enjoy the adventure from each and every miles

Dieng, Dataran Tinggi Vulkanis Tertinggi Di Jawa

Cerita ini adalah kelanjutan dari perjalanan saya dari Yogya - Borobudur - Dieng sendirian. Pagi kala itu, saya sudah selesai menikmati sunrise di Borobudur, lalu mengambil sarapan di Hotel Manohara. Sopir mobil sewaan dan putrinya yang ikut menemani akan kembali ke parkiran pukul 07:30 pagi. Setelah mereka sampai, saya bergegas naik dan melanjutkan perjalanan ke Wonosobo, yaitu Dataran Tinggi Dieng.
This story was a part of my solo semi-backpacking trip Yogya - Borobudur - Dieng.That morning, I did enjoying Borobudur Sunrise package from Manohara Hotel and take my breakfast. The rent car's driver and his daughter accompanying him will returned to the parking area at 07:30. Once they arrived, I quickly get in the car and continue to next destination, which is Dieng highland in Wonosobo. 
Kebersahajaan Dieng // Dieng's Serenity

Perjalanan memakan waktu 2.5 jam, dimana akhirnya saya sampai ke pos perbatasan Kota Wonosobo untuk membeli tiket masuk kawasan wisata. Lalu dilanjutkan 45 menit perjalanan mendaki hingga sampai ke Gardu Pandang Tieng (Dieng). Kami berhenti sebentar disini untuk membeli perbekalan minuman dan ke toilet. 
The road trip took 2.5 hours driving the inter-city road to reached the border of Wonosobo border to Dieng. We have to buy the ticket for entering tourism area. Then followed 45 minutes ascending road to reached Tieng (Dieng) Viewing Shelter. We stopped here for a while to buy water stock and went to toilet. 
Gardu Pandang Tieng // Tieng's Viewing Shelter
Pemandangan Dieng dari atas gardu // Dieng's view from the shelter

Tujuan pertama saya adalah Kawah Sikidang. Disebut Kawah Sikidang karena konon lokasi kawah ini berpindah-pindah seperti kidang (kijang). Tidak ada hal mistis mengenai perpindahan tersebut karena daerah ini merupakan kawah yang luas. Dari sela bebatuan pun terdapat lubang air yang bergolak dan mengeluarkan uap air dan belerang. Di beberapa tempat, terdapat tanah yang labil dimana di bawahnya kemungkinan terdapat kawah yang bergejolak sehingga terasa bergetar. Kawah terbesar terletak agak jauh dan berisi lumpur bergejolak. Kadang dari gejolaknya terlihat percikan api yang menandakan lava mungkin sangat dekat dari permukaan. 
My first destination was Sikidang Crater. They named it Sikidang for Kidang (Deer) association due its location tends to changed over time. There was nothing mystically about it, because this area is a large crater indeed. From the cleavage of rocks I saw boiling water came out producing steams and sulphuric gases. In many places, the ground seems unstable that there may be crater beneath the ground we step that makes the ground vibrating. The largest pool located in the afar and contained boiling mud. Using polarized sunglasses, through the fog of steam it produced, I thought I saw a fire trails from the boiling mud that indicate the lava may be close from the surface. 
Kawah Sikidang // Sikidang Crater
Lubang gas belerang // An outlet of sulphuric gas

Perjalanan saya lanjutkan ke Telaga Warna. Disini sebenarnya hanya danau yang berasal dari limpahan air kawah yang mengandung kapur dan belerang sehingga menghasilkan gradasi warna putih, hijau, biru, tosca, lalu coklat yang merupakan dasar tanah dari danau itu sendiri. Permukaan danau ditutupi kabut uap yang mengindikasikan air danau hangat. Di sebelah danau ini ada Danau Pengilon yang berwarna coklat tua, serta beberapa goa di sekitarnya, namun tidak saya kunjungi saat itu. Disini saya bertemu cabai gendot (habanero) yang ditanam di Indonesia pertama kali, serta buah Carica yang sebenarnya pepaya kerdil. 
I continued my trip to Telaga Warna (Colorful Lake). This lake has the colors gradation from white, green, blue, tosca, then brown as the base color of the lake's bed. The lake surface is covered by thin fog that indicated it was in elevated temperature. Aside this lake, there was dark brownish Lake Pengilon  and a few short caves nearby that I didn't visit. There was the first time I met Gendot pepper (Local Habanero cultivated) and the midget papaya called Carica. 
Telaga Warna Dieng // Dieng's Colorful Lake

Tujuan berikutnya yaitu Kompleks Candi Arjuna. Sebenarnya terdapat beberapa obyek disini seperti museum, teater, dan candi lainnya, namun yang paling terkenal dan menjadi ikon Dieng adalah Candi Arjuna. Terdapat beberapa candi yang sebagian masih terlihat utuh dan sebagian sudah agak hancur. Petugas lokal mengatakan candi-candi ini melambangkan kasta.
The next destination is Arjuna Temples. There are many tourism objects nearby like museum, theatre, and other temples, but the icon of Dieng is the Arjuna Temples. Yes, Temples, because there were some temples in this area in various condition, some were well preserved, some were in repair. The locals here told me that the temples were resemble the people's classification order. 
Kompleks Candi Arjuna // Arjuna Temples Area

Hampir pukul 13:30, kami memutuskan untuk makan siang berupa sate kambing. Daerah vulkanis yang subur tampaknya membuat semua tanaman disini menghasilkan ukuran panen yang besar, misalnya kentang dan yang saya lihat di kedai sate, yaitu cabai rawit. Selesai makan siang, saya lanjutkan perjalanan ke Kawah Sileri. Kawah ini sudah tidak aktif namun sejarahnya letusan kawah ini pernah mengeluarkan gas vulkanis beracun ke desa sekitar lalu menewaskan banyak penduduk. 
It was around 13:30 so we decided to lunch at nearby lamb satay stall. The rich volcanic soil here made every crops turned to extra large size, for example the potatoes and local chili pepper I found in that satay stall. After lunch, we continued to Sileri Crater. This dormant crater once had killed many villagers nearby due to its explosion which releasing poisonous volcanic gases. 
Kawah Sileri // Sileri Crater
Cabai rawit super // Extra Large Chili Pepper

Lalu saya lanjutkan ke Kawah  Jalatunda, yaitu sebuah kawah vulkanis mati yang dalam, sehingga terlihat seperti sumur. Oleh penduduk sekitar lebih dikenal sebagai Sumur Jalatunda. Ada mitos dimana jika kita berhasil melempar batu dan mengenai dinding sumur di seberang (kumpulan bunga kuning) dalam tiga lemparan sambil mengucapkan keinginan, maka keinginan kita akan terkabul. Saya tidak percaya mitos tersebut namun memang sulit mengenai dinding di seberang itu.
Then I continued to Jalatunda crater. This crater was also dormant volcanic crater which is deep so the local called it as a well, Jalatunda Well. There was a myth that if we successfuly throw hand sized rock to the crater wall beneath while saying our wish, to the area full of yellow flowers, within three opportunity, our wish might be granted by the ancients. I didn't believe the myth but it was hard work or I can say impossible to successfuly hit that wall by throwing it using bare hand. 
Sumur Jalatunda // Giant Well of Jalatunda
Air terjun panas menuju kawah Chandradimuka // Hotspring at the midway to Chandradimuka Crater

Tujuan terakhir saya adalah Kawah Chandradimuka. Di perjalanan ke Kawah ini, saya melihat ada air terjun panas yang merupakan luapan air kawah Chandradimuka. Kawah ini terlihat paling aktif di antara lainnya dan tidak bisa didekati karena pekatnya kabut dan tajamnya aroma belerang yang bisa membuat pingsan. Terdapat peringatan untuk memakai masker jika ingin turun ke kawah melalui tangga, namun karena saya tidak membawanya, saya berhenti sampai batas pagar terakhir saja. 
The last destination here is Chandradimuka Crater. On the midway to the Crater, I saw hot spring waterfall from Chandradimuka water streams. These craters were seemed the most active crater around Dieng indicated by thick fog of steams and strong sulphuric odor that can make people fainted. There was a warning to put gas mask if we intended to walk downstair into the crater, but because I didn't prepare any, I stopped at the stair where the fences has ended. 
Ujung batas jalan berpagar // The end of stairs with fences
Kawah Chandradimuka // Chandradimuka Crater

Pada perjalanan kembali ke Kota Yogya, kami mampir dulu ke Mie Ongklok Wonosobo dan Sate Sapi khas daerah ini. Kami sampai di Magelang pada sore hari dan sempat mengunjungi Candi Mendut. Lalu kami tiba di Yogyakarta hampir jam 18:00, dimana kami mampir sebentar di batu monumen lokasi terdampak lahar dingin dahsyat Merapi di desa Gempol. 
In the midway of our return to Yogya, we visit the restaurant served the signature dishes of Wonosobo, Ongklok Noodles and Beef Satay. We arrived at Magelang in the afternoon that we visited Mendut Temple in the midway. Then we arrived at Yogyakarta at nearly 18:00 that we visit the monumental stone of disastrous lava flooding Merapi at Gempol Village.
Di Lobby Sheraton Yogyakarta // Lounging at the lobby of Sheraton Yogyakarta

Kemegahan Borobudur Di Ufuk Pagi

Waktu menunjukkan pukul 03:00 pagi dan sesuai perjanjian, mobil yang saya sewa sudah menunggu di lobi hotel butik di sekitar Ambarukmo Plaza. Saya keluar kamar menuju lobi dan menyapa sang supir, seorang pria kebapakan yang sudah cukup beruban. Rupanya beliau membawa putrinya untuk menemani beliau sepanjang perjalanan. Beliau meminta izin agar bisa ditemani putrinya, dan saya mengizinkan saja. Tidak ada ruginya bagi saya, bahkan jadi ada tambahan teman mengobrol. Karena perjalanan panjang ke berbagai tempat wisata di Yogyakarta dan dataran tinggi Dieng akan kami lakukan selama seharian penuh. Salah satu tujuan utama dan pertamanya adalah Borobudur Sunrise yang dikelola oleh Hotel Manohara di kompleks Candi.

Patung Buddha menghadap Timur // The Statue of Buddha facing East
03:00 am. in early morning and as promised, the rent car has arrived at Boutique Hotel where I stay at Yogyakarta, near Ambarukmo Plaza. I was leaving my room and went to the lobby where the driver has been waiting for me. The driver was an old man with some white hair. He brought his daughter to accompany him during this trip, my trip. He asked my permission first and off course I granted it. Her present will beneficial for us to talked along this all day long trip to Borobudur and Dieng. The main course was Borobudur Sunrise tour that facilitated by Manohara Hotel in Temple complex
Tiket tur Borobudur Sunrise // The ticket for Borobudur Sunrise Tour

Saya sudah booking sehari sebelumnya untuk mengikuti tour ini. Pihak hotel meminta saya langsung datang saja ke sana maksimal pukul 05:00 pagi. Perjalanan pagi hari cukup lancar dan kami tiba tepat waktu. Saya meminta Pak Supir dan putrinya untuk menjemput saya kembali sekitar pukul 06:30, dan mereka pun meminta izin untuk mencari sarapan dulu.
I had booked the ticket for this tour one day earlier. Hotel staff asked me to arrived before 05:00 am. The traffic was light and I arrived on time at Manohara Hotel. Of course I didn't provide the ticket for the driver and his daughter, so they asked my permission to drive around Temple complex to have breakfast. I granted them and asked them to return at 06:30
Setelah briefing dalam 2 bahasa, pihak hotel memberi kami kain batik untuk dipakai dan sebuah lampu senter, kemudian seorang petugas biara mengantar kami berangkat ke candi. Pukul 05:00 pagi dan sebenarnya masih sangat gelap untuk mengambil gambar apapun, kami bergerak mendaki candi. Di atas Candi, terlihat suasana masih tertutup kabut. Lampu penerangan badai untung saja ada untuk menyinari jalan kami dan memperlihatkan sosok Candi yang megah di balik kabut. Udara terasa dingin dan rombongan yang terdiri dari beberapa turis Prancis, Jerman dan Jepang berbaris menaiki anak tangga. Ya, di antara peserta, cuma saya turis lokal di antara rombongan.
After short briefing in two languages, hotel staff gave us Batik sheath to be worn for courtesy and a torchlight. The visitor also prohibited to worn shorts, hot pants, and mini skirt. The monks accompanied us to enter Borobudur temple. It was about 05:00 am. and it's still dark for taking any pictures. The temple was still covered by fog. The post lamp lighten our path and reveal the temple shadow behind the fog. The air was cold enough and our tour group were stepping up the stairs to the temple. Amongst the tour group, I was the only domestic visitor. The others were French, Germany, and Japanese
Patung di dalam Stupa // The Statue inside Stupa
Lautan kabut di sekitar candi // The sea of fog around the temple

Ketika matahari mulai muncul, sosok merapi di kejauhan dan lautan kabut di sekitar Candi membuat seolah-olah saya sedang berada di adegan film Sun Go Kong yang dipanggil ke istana khayangan. Pemandangan indah yang sepadan dengan biaya yang dikeluarkan. Untuk menikmati paket tour ini, biaya yang dikeluarkan tidak sedikit. Turis lokal harus membayar Rp. 250,000 sedangkan turis asing membayar Rp. 380,000. Fasilitas yang didapatkan adalah welcome drink, kain batik, senter, dan sarapan pagi ketika kembali. Lebih ekonomis bila menginap di Hotel Manohara, namun saya memilih menjelajah Yogyakarta sehari sebelumnya.
Then sunrise came up. Mt. Merapi in the background was revealed beyond the sea of cloud afar. The Temple also was surrounded by the sea of fog that seemed like it was Sky Kingdom in Sun Go Kong Story. The beautiful view that paid off the cost taken. This tour was cost Rp. 250,000 for domestic and Rp. 380,000 (around US$ 40) for foreign tourist. The amenities were welcome drink, batik sheath, torchlight, and breakfast upon return from Temple. It will be more economic if we stayed at Manohara Hotel, but I decided to explore Yogyakarta the day earlier
Matahari pagi pun datang // The Sunrise came up
Perbukitan Punthuk Setumbu di kejauhan // Punthuk Setumbu hills at the background

Alternatif menikmati sunrise di Borobudur adalah melalui Puncak Punthuk Setumbu. Borobudur akan terlihat di kejauhan dari puncak bukit tersebut. Pemandangan dan sensasinya tentu berbeda dengan pada saat berada di Candi, namun biayanya lebih terjangkau.
The alternative to enjoy this sunrise view is from The peak of Punthuk Setumbu hill. Borobudur will be seen far away. The panorama and the sensation surely will be different than to be in the temple, but the cost will be more affordable
Masih berkabut saat perjalanan turun // It was still foggy on my way down

Keliling Yogya Dalam Sehari

Hari ini adalah hari pertama petualangan solo saya di Yogya dan Dieng, memanfaatkan tiket pesawat untuk sekalian penugasan saya sebagai delegasi Perusahaan tempat saya bekerja pada Seminar bertajuk Korosi dalam waktu dekat di Sheraton Yogyakarta. Tepat tengah malam, artinya waktu istirahat saya kurang dari 3 jam sebelum perjalanan saya ke Borobudur dan Dieng (lihat tulisan saya tentang Borobudur). Keberangkatan saya ke Jogja tadi pagi menggunakan pesawat Garuda Indonesia, berangkat dari Cengkareng ke Yogyakarta pada pagi hari, sehingga saya tiba sekitar pukul 10:00. Setelahnya, saya langsung menuju hotel butik yang telah saya booking sebelumnya. Setelah menyimpan barang-barang, saya menantang diri saya, bisa sejauh apa saya mengelilingi Yogyakarta dalam waktu 1 hari (sebenarnya tinggal setengah hari alias 12 jam) bermodalkan kaki dan bus Trans-Yogya.
That day was the first day of my solo backpacking trip to Yogyakarta and Dieng Plateau, at the same occasion of my seminar assignment as company delegation, which will took place at Sheraton Hotel Yogyakarta. It was the midnight, and I just had 3 hours for sleeping before I continue my solo backpacking trip to Borobudur Temple and Dieng Plateau (see my writing about Borobudur). I departed from Jakarta to Yogyakarta this morning using Garuda Indonesia airlines, and arrived at 10:00 a.m. Afterward, I did check in at reserved hotel, then start exploring the city. This is my itinerary for city-exploring Yogyakarta in one full day by using only trans Yogyakarta public buses and on foot
1. Plaza Ambarukmo (10:00 - 10:30)
Karena paling dekat dengan hotel dan jalur bus terdekat, meskipun bukan tujuan wisata, tetap saya kunjungi. Hotel tempat saya menginap berada di jalur satu arah, jadi harus berjalan dulu ke sini untuk ke halte terdekat ke arah Prambanan. Seperti biasa, saya mengisi energi dulu di Starbuck's dengan Caramel Machiatto nya.
1. Ambarukmo Plaza (10:00 - 10:30)
Because it located near my hotel and is a junction where public bus stop Trans Yogyakarta before one-way traffic road segment. As usual, I filled up my energy before traveling with Starbuck's Caramel Macchiato.
Main entrance to Ratu Boko Palace // Pintu utama istana Ratu Boko

2. Candi Prambanan - Ratu Boko (11:30 - 19:00)
Kompleks Candi ini sangat luas dan katanya sunset di sunset view Kompleks Ratu Boko sangat indah. Saking luasnya, saya menghabiskan siang hingga petang disini. Sebaiknya membeli tiket terusan ke Ratu Boko. Kompleks Ratu Boko terletak lumayan jauh dari Candi Prambanan, jadi kalau ada rencana berjalan kaki ke sana, lupakan saja. Pihak pengelola candi menyediakan bus jemputan (shuttle) yang akan mengantar jemput ke Ratu Boko. Namun jika ingin menikmati sunset, sebaiknya rencanakan transportasi pulangnya karena bus akan kembali pukul 05:00 sore. Saya menyaksikan sendiri sunset di tempat ini yang benar-benar indah. Sebelumnya, saya sudah membuat kesepakatan dengan security Sunset View agar mengantarkan saya ke halte Trans-Yogya Prambanan sekalian beliau pulang kerja.
2. Prambanan Temple - Ratu Boko Palace (11:30 - 19:00)
This temple complex is so large and people recommend to enjoy beautiful sunset at Ratu Boko. It's so large that you have to prepare your stamina in here. Ratu Boko Palace is located a bit far from Prambanan complex, so season ticket will be beneficial, because it already includes direct shuttle transport from and to Ratu Boko from Prambanan complex. It will spend a lot of time if you walk up there to Ratu Boko. The Shuttle bus available until 16:30 from Ratu Boko, so you have to prepare your own transport if you want to enjoy sunset here. I made an agreement with security guard to pick me up with his motorcycle after sunset.
Kompleks candi yang luas di Prambanan // A large complex, Prambanan Temple

3. Kompleks Kraton Yogyakarta (19:00 - 23:30)
Disini stamina saya diuji, saya berjalan mengeksplorasi tempat-tempat wisata di sekitar Kraton yang masih buka. Jalan Malioboro, Pasar Beringharjo, Benteng Vredeburg, Istana Kraton, Alun-alun, produksi kaus Dagadu, hingga kawasan Beringin kembar saya jambangi dengan berjalan kaki. Lampu-lampu LED hias di delman yang didandani membuat suasana semarak. Angkringan di pinggir jalan benar-benar ramai. Karena saya yang berkeringat, berbaju lusuh, dan berwajah imut ini, Ibu penjual angkringan mengira saya mahasiswa rantau asal Jakarta, lalu memberikan saya banyak bonus karena si Ibu mau tutup. Meskipun sudah menolak dan mencoba menjelaskan, si Ibu tetap ngotot kalau sebagai mahasiswa tidak perlu sungkan, karena Ibu itu sudah banyak membantu mahasiswa-mahasiswa rantau seperti saya...Wow! Ya sudahlah, rezeki kali. Haha.
3. Yogyakarta Kraton Complex (19:00 - 23:30)
This destination will surely tested your endurance. I walked to every tourism attractions near the Kraton until midnight. The Route were Malioboro road, Beringharjo market, Vrederburg castle, townsquare, Dagadu producers, until the twin mystical banyan tree in southern townsquare. LED lite horse wagon are flourish the night crowd. Food sellers are easily found here and also very crowded. Because after exhausting walk, I was sweaty, wearing wet tsirt, and younger face, the food seller presumed I was the university student. She gave me great discount and because I might be the last guest, she gave me extra food to be taken home and shared with other dormitory friends. Of course I am not a student, so I politely refuse her offering but she insisted. Well, it might be my lucky day.
Alun-alun utama Istana Ratu Boko // The main hallway of Ratu Boko Palace

4. Tugu Yogyakarta (00:00)
Yak, akhirnya, sebagai penutup perjalanan melelahkan hari ini, menyeruput teh tarik di dekat tugu Yogyakarta pas tengah malam memang sangat berkesan. Pakaian basah akibat keringat masih belum kering dan masih harus berjalan ke hotel, membuat badan mulai menggigil. Untung ada wedang uwuh khas Imogiri. Tidak lupa belanjaan dari Jalan Malioboro sebelumnya untuk oleh-oleh dan titipan (sesajen) Sekretaris kantor. Hehe, maaf Mbak Dew.
4. Yogyakarta Monument (00:00)
At last, I ended my city-exploring at this cafe, at the corner of road where Yogyakarta monument was built. I was drinking hot ginger herbs tea, Wedang Uwuh from Imogiri. Wet clothes make me feel cold and I shall returned to hotel for rest. A bag full of souvenirs are already completed, along with the bribe souvenirs for my office's secretary... hahaha just kidding Mbak Dew..
Tugu Yogyakarta saat tengah malam // Yogyakarta monument at the midnight