Travelling

Exploring Indonesian's magnificent places is my passion

Mountain Bike

The most exercise I did during my free time

Photography

To capture the beauty of the places I've visited

Culinary

The other reason why I love to go traveling

Engineering

Because big dreams never come so easy

Moto-Adventure

Graze the road and enjoy the adventure from each and every miles

Cabai Gendot, Oleh-Oleh Pedas Dari Dieng Dan Semeru

Resepsionis hotel seperti keheranan karena rombongan pendaki berdebu membawa tas carrier besar berbondong-bondong menuju lobby. "Pak, kami yang tadi telpon, yang pesan kamar untuk satu malam". Haha, kami baru reunian di Ranu Kumbolo. Sebagian dari kami memilih menggunakan kereta Matarmaja gerbong tambahan malam ini, sebagian memilih menggunakan pesawat terbang besok, sehingga istirahat transit di hotel ini.
Hotel receptionist felt peculiar because a group of dusty hikers carrying big backpack entering the lobby. I said 'Sir, we have called you for Hotel Reservation for tonight', then he understood. We were just going back from Mt. Semeru for reunion. Some of my colleague were taking tonight additional Matarmaja train to Jakarta, and the rest of us will spend the night at Malang, before going back to Jakarta via train, airlines, and bus
Yang unik dan membuat saya geli adalah kelakuan teman-teman saya ini. Beberapa teman menenteng seikat rangkaian buah berwarna merah terang ini, cabai gendot, yang secara internasional lebih dikenal sebagai cabai Habanero. Mereka tertarik untuk membawanya sebagai oleh-oleh karena bentuk dan warnanya yang keren mentereng, namun mereka tidak menyadari buah apa yang mereka bawa itu dan bahaya kadar capsaisin di dalamnya.
The funny thing was my friend's behavior. Some of them were just following me bought a bundle of a bright red colored fruit, Gendot pepper or internationally called Habanero pepper. They were interested for the bright red color of those fruits and they thought they were indeed edible fruit. Yes, they were edible, but not for direct consumption, because it tastes hot, even hotter than regular pepper. It has capcaicin content higher than regular pepper, even rawit pepper
Cabai gendot yang dijual masyarakat Tengger // Gendot pepper that offered by Tengger people

Capsaisin, atau senyawa pedas dari cabai, yang terdapat pada cabai ini memiliki nilai 100 ribu - 350 ribu pada skala Scoville (SHU). Nilai ini artinya minimal tiga kali lebih pedas daripada cabai rawit atau yang secara internasional disebut thai-chili pepper/Ceyenne, yang berkisar 50 ribu - 100 ribu skala Scoville. Dulu cabai ini sempat digadangkan sebagai cabai terpedas di dunia hingga kini menjadi ketiga terpedas di dunia setelah dikalahkan cabai red savina pepper dari California yang merupakan rekayasa genetik dari habanero sendiri, serta cabai setan, Bhut Jolokia dari India, yang juga rekayasa genetik persilangan habanero (Capsicum chinense) dan cabai rawit/ceyenne (Capsicum frutesences).
Capcaicin or hot component from pepper that is contained within this fruit has 100k-350k score of SHU (Scoville Heat Unit). This value means it is three times hotter than rawit pepper (thai-chili pepper/ceyenne) that only valued 50k-100k SHU, even its heat taste is famous in tabasco sauce. A few years ago, this fruit was awarded as the hottest pepper in the world, until now it has been beaten with genetically developed red savina pepper and bhut jolokia pepper. Red Savina is Californian trans-genetic between hottest habanero varieties, meanwhile Bhut Jolokia is Indian trans-genetic between the hottest habanero (Capsicum chinense) and ceyenne (Capsicum frutesences)
Saya sudah tahu sepak terjang cabai ini karena pernah membawanya sebagai oleh-oleh dari kunjungan saya ke Dieng. Namun kepolosan teman-teman saya, apalagi sampai ada yang mencoba mencicipi langsung sewaktu di hotel dengan satu gigitan besar, membuat saya kegelian melihat reaksinya. Namun, alasan sebenarnya saya membawa buah ini sebagai oleh-oleh adalah membandingkan rasa pedasnya dengan yang saya bawa dari Dieng. Lagipula saya pun baru tahu bahwa masyarakat Tengger juga membudidayakan cabai yang asalnya dari Semenanjung Yucatan di Amerika Selatan ini.
I already know these hot tastes fruits because I have met them before in Dieng. Because of curiosity, one of my friend took a huge bite of this fruit like eating an apple, then suffered by the heat. We laughed so hard of him. Well I too have my own curiosity. I wonder which will be hotter, habanero planted here in Semeru or habanero I had at home from Dieng. Even though I was surprised Tengger people cultivated this fruit that originally came from Yucatan Peninsula in Southern America
Cabai Gendot dan Carica dari dataran tinggi Dieng // Gendot pepper and Carica from Dieng Plateau

Lavender Oro-oro Ombo, Si Cantik Invasif yang Salah Dikenali

Langit biru cerah dan sedikit berawan menghiasi siang itu, termasuk matahari yang terik di atas ubun-ubun. Hari ini sebenarnya sudah masuk musim kemarau, bahkan sudah saya sadari sejak pendakian saya ke Gunung Rinjani dua bulan sebelumnya. Ajakan teman-teman semasa kuliah dulu untuk bermalam di Ranu Kumbolo saya setujui untuk ikut, karena selain reuni sejak  5 tahun setelah kelulusan,  kunjungan terakhir saya 2 tahun lalu ke Oro-oro Ombo TNBTS, saya tidak berjumpa dengan padang bunga Lavender yang ungu membentang akibat terbakar habis oleh kebakaran hutan saat itu. Meskipun sebenarnya kecil kemungkinan untuk bisa menjumpai padang Lavender di musim kemarau ini.
The clear blue sky and sunny day accompanied our journey that time. It was already drought season here, that I realized from the last hiking trip to Mt. Rinjani two months earlier. But my friends invitation for spending the holiday by camping at Ranu Kumbolo, is very attractive, because it also celebrating 5 years after our graduation from beloved university. The last visit to Oro-oro Ombo was 2 years ago, but I unfortunately didn't met with the famous lavender field because they were burned to ash during wildfire. I realized that it was very little chance to meet them in drought season
Bunga verbena yang sudah kering karena kemarau // Dried verbena during drought season

Tanaman Lavender yang dimaksud di tempat ini bukan Lavender sebenarnya yang bahasa latinnya Lavandula sp. , melainkan Verbena Brasiliensis vell. Bunga ini, dilihat dari namanya saja sudah kelihatan, kalau aslinya berasal dari sekitaran Brazil, di Amerika Selatan. Tanaman semak ini berbunga berwarna ungu, yang jika berada dalam kumpulan besar, mirip padang Lavender di Eropa pada umumnya. Tanaman ini bukan spesies alami Oro-oro Ombo melainkan spesies invasif/pendatang  yang bibitnya mungkin dengan sengaja atau tidak sengaja tersebar oleh penjelajah asing pada masa kolonialisme dahulu. Sumber di dunia maya menyebutkan kecurigaan bibit bunga ini dibawa oleh ahli Botani yang tinggal di Nongkojajar, Pasuruan, di masa itu, yang gemar mendatangkan tumbuhan-tumbuhan asing dari luar negeri. Namun hingga kini, awal penyebaran tanaman ini di Semeru dan sekitarnya masih menjadi tanda tanya. 
The lavender in this place actually was not the real lavender (lavandula sp.) instead it is the purple bush verbena flower (Verbena brasiliensis vell.). From the scientific name, we can conclude that it came from Brazil, Southern America. This plant has purple flowers, which in large group, it will produce a purple flower field that looked similar with Lavender field in European countries. It was not native plantation, instead it was invasive species that carried by colonialist a long time ago. Internet research for this matter, it said there was a suspicion that Dutch etno-botanist who was lived in Nongkojajar, Pasuruan, who had collection of flowers around the world, who purposely spread the plantation in Oro-oro Ombo. But until now, there still no evidences
Di Oro-oro Ombo, tanaman ini berbunga di musim hujan, dan ketika masuk musim kemarau, bunga-bunganya berguguran dengan sendirinya. Satu sumber menyebutkan bahwa masa mekarnya bunga tanaman  ini adalah Januari hingga Agustus setiap tahunnya.  Karena di musim hujan jalur pendakian ditutup, maka kesempatan menjumpainya adalah saat-saat jalur pendakian dibuka pertama kalinya di setiap tahunnya, yaitu di sekitar bulan Juni – Agustus. Beberapa teman jejaring sosial saya yang melakukan upacara Kemerdekaan 17 Agustus di Ranu Kumbolo, sempat mengabadikan lewat foto padang lavender yang ungu dan terbentang luas seluas 20 Ha di Oro-oro Ombo, atau seluas seperlima total padang rumput di Oro-oro Ombo. Sebenarnya inilah atribut spesial dari Oro-oro Ombo di jalur pendakian Semeru ini, karena padang rumput yang luas banyak terdapat di TNBTS, yaitu jalur Ayek-ayek, di bawah pertigaan Jemplang, dan Savana Bromo yang biasa dijuluki “Bukit Teletubbies”.
This plantation is blooming in rainy season, and when it comes to drought season, the flowers will fall. The most source said that the blooming period is January to August every year. Because the hiking track is closed during rainy season, the opportunity to meet this flower is when the hiking track is opened at the first time, usually June to August. My friend from social media upload a photo of their flag ceremony for Independence day in August in purple field, Oro-oro Ombo. The field is spread out 0.2 sq. km. or one fifth of whole Oro-oro Ombo savana. This field is a special attribute for Oro-oro Ombo savana, because there are few regular savana around this National Park, lets called it Ayek-Ayek tracking route, Jemplang junction, and Bromo Savana that popularly called Teletubbies hills
 Akhirnya, seperti yang saya duga, saya tidak menjumpai sang “karpet ungu” ini di Oro-oro Ombo, karena sudah masuk musim kemarau. Padang rumput Oro-oro Ombo sudah menguning kecoklatan, kering kerontang. Hanya sebagian saja yang masih tampak kehijauan di sekitar Cemoro Kandang. Ya, tak apalah, toh setidaknya saya secara fisik bertemu dengan tanaman ini dalam keadaan berdiri tegak dibandingkan menjadi abu kehitaman yang saya jumpai dulu.
At last, as expected, I didn't met with the famous purple field in Oro-oro Ombo. Drought season dried out all flowers and plants into dark browns field surrounded by dry savana. The green zone was up ahead to Cemoro Kandang. Well, at least I met this plant intact, not like my previous trip where I met them as black ashes
Padang ungu Oro-oro Ombo sudah menjadi kecoklatan // Oro-oro Ombo's Purple field has already become brownish

Mengenai Oro-oro Ombo
Oro-oro Ombo adalah dataran luas padang rumput di jalur pendakian Semeru, yaitu di antara Ranu Kumbolo dan Cemoro Kandang. Tepatnya, setelah kita mendaki Tanjakan Cinta Ranu Kumbolo, dengan menuruni bukit kita akan sampai di tempat ini.
About Oro-oro Ombo
Oro-oro Ombo is a large savana that is also a hiking route to Mt. Semeru, exactly between Ranu Kumbolo and Cemoro Kandang. After climb up fenomenal slope route Tanjakan Cinta, walking down the hill then we will arrive in here.
Menuju ke sana
Jalur yang sama yang diceritakan di Ranu Kumbolo
How to get there
The same route as told in Ranu Kumbolo story
Abu tersisa Oro-Oro Ombu setelah kebakaran tahun 2011 // Oro-oro Ombo ashes remain after wildfire 2011

Menunggu Pagi di Ranu Kumbolo

Pagi itu terasa sangat berbeda. Dingin yang menggigit meskipun sudah memakai balaclava, kaus kaki tebal dan sarung tangan, serta dua jaket di balik kantung tidur berbahan polar membuat saya harus terbangun berkali-kali. Ya, pagi itu saya menghabiskan malam di Ranu Kumbolo. Informasi suhu minimal harian -5° hingga -20° Celcius yang terdapat di papan informasi saya sadari bukan hanya bualan. Tenda gunung berkapasitas empat orang yang diisi tiga orang terasa lebih kosong. Saya lihat satu teman di tenda saya sudah tidak berada di kantung tidurnya, mungkin bergabung dengan rombongan lainnya yang terdengar sedang bernyanyi menggunakan speaker portable di sekitar api unggun, tidak jauh dari tenda kami. Satu teman saya masih pulas tertidur seakan-akan tidak ada bedanya tidur di ranjang di rumah dan di tenda alam terbuka. Jam tangan outdoor di lengan kiri sudah menunjukkan pukul 5 pagi. Saya segera mengambil perlengkapan kamera DSLR saya dan melakukan peregangan sekedar untuk menghilangkan rasa dingin. Rupanya saya tidak sendiri. Di pinggir danau sudah terpasang beberapa tripod sementara tuannya masih berkutat dengan kameranya masing-masing di dalam tenda. Beberapa membuat minuman hangat, beberapa terlihat duduk terpaku menunggu terbitnya matahari di ufuk timur. Saya dan beberapa teman memutuskan untuk bergerak memutari pinggiran danau untuk mencari titik pandang yang lebih bagus. Kabut yang tebal tidak mengurangi niat kami. Air danau yang tenang dan diselimuti asap kabut tipis membuat kami memilih jalan yang tidak harus memasukkan kaki kami ke dalam air danau
I had unusual feeling that morning. The frostbite even I had already wear balaclava, thick socks and gloves, and also two thick outdoor jacket inside a polar built sleeping bag, made me awake a few times. Yup, that morning I was in the mountain, in Ranu Kumbolo. I must admit that information of daily lowest temperature here from 23 to -4 deg Fahrenheit which was written on the information board, was true. The mountaineering tent with four persons capacity was only occupied by three persons feels spacier. I saw one of my friend had already leaving his sleeping bag and joined other group's camp fire, singing around using music that came from speaker built mp3 player. The other is still sleeping as there was no difference sleeping in outdoor here and his own bedroom. It was 5 am. shown by my outdoor wristwatch. I immediately prepared DSLR camera for acclimatization and did some stretching to warming up my body. I was not alone. Around the lakeside, a few tripod has been set while the owner still preparing the camera inside the tent. clever!. Some of them were drinking some hot tea or coffee and some of them is sitting next to their tripod waiting still until the sunrise. Yup, the sunrise view here is amazingly astonishing. Realized that the lakeside has already been occupied, me and some of my group decide to walk around to find better view. Thick mist was not our obstacle, but the cold water in the lake that covered by layer of fog made me avoid the path that has to put our feet inside the water
Super Slow Speed Ranu Kumbolo

Hari semakin terang, semburat orange di antara dua bukit adalah pertanda matahari akan segera muncul, atau sudah muncul. Cakrawala masih tertutup kabut tebal, sehingga sunrise tidak akan nampak jelas di bingkai cropped sensor DSLR saya. Di tempat ini, pohon tumbang yang berada sebagian di dalam danau dan permukaan danau yang seakan-akan berasap sepertinya akan menjadi komposisi yang bagus. Saat itu hanya kami berlima di tempat ini, kompleks perkemahan samar-samar terlihat karena terhalangi kabut. Saya siapkan tripod dan menyesuaikan posisi, tinggi, dan level terhadap view yang akan saya simpan di sensor kamera saya. Pengaturan dilakukan sesuai kondisi sekitar dan keluaran yang saya inginkan, komposisi dan fokus, lalu penghitung mundur 2 detik disiapkan dan saya menunggu momen yang tepat.... 
The sky became brighter, orange rays between two monumental hills was the sign that the sunrise will took place. The horizon is still covered by thick fog, the sign that the sunrise will not be successfully captured in my cropped sensor DSLR. I thought, the fallen log that partially drown inside the lake and the smokey lake will be a good composition. There were only five of us in here enjoying this amazing view and the surrounding is covered by thick fog. I set my tripod, adjust the height, position, and level and begin arrange composition. The 1-stop increments of 5-stops bracket setting is applied then manual focus of my wide angle lens to find the sharpest image. Then 2 sec delay shutter is pressed and voila...
Matahari terbit di Ranu Kumbolo // Sunrise at Ranu Kumbolo

Mengenai Ranu Kumbolo
Ranu Kumbolo adalah danau hasil proses vulkanik. Danau seluas 14 Ha ini terdapat di area Taman Nasional Bromo, Tengger, dan Semeru (TNBTS). Danau ini terdapat di jalur pendakian Gunung Semeru. Secara administrasi, danau ini terletak di antara Kabupaten Lumajang dan Malang di Jawa Timur. Tidak ada fasilitas penginapan, warung, ataupun pemukiman penduduk di sekitar sini, jadi persiapan fisik dan perbekalan harus dipersiapkan secara matang.  Namun perjalanan panjang tersebut akan terbayar dengan keindahan alam tiada duanya. 
About Ranu Kumbolo
Ranu Kumbolo was a volcanic crater that transform into lake. The 0.14 sq. km. lake is located at Bromo, Tengger, Semeru National Park. This lake is located in mount Semeru hiking track. This lake administratively located between Lumajang district and Malang in East Java province. There is no lodging facility, food stalls, or houses around here, so physical preparadness, equipment and logistic shall be prepared. The journey is quite exhausting, but the view and freshness will be a memorable experience.

Menuju ke sana
Untuk mencapai Ranu Kumbolo, bisa dicapai dari Lumajang, Malang atau Probolinggo. Perjalanan dari kota Malang, jika menggunakan kendaraan pribadi adalah melalui Stasiun Belimbing menuju ke jalan Laksamana Adisucipto melewati pertigaan ke Bandara Abdur Rahman Saleh terus menuju ke Tumpang. Kendaraan harus yang bertenaga besar atau memiliki gardan ganda, karena akses jalan kesana menanjak dan jalan yang tidak rata. Namun proyek perbaikan jalan oleh Pemerintah Malang di pertengahan Oktober 2013 mungkin akan mengurangi tantangan perjalanan kesana.  Dari pertigaan Tumpang perjalanan dilanjutkan ke kiri, menanjak ke arah Tengger hingga pertigaan Jemplang, lurus ke arah Ranu Pani. Jika dari Probolinggo, bergerak ke selatan menuju Kawasan Bromo, melewati jalan berpasir Bromo hingga pertigaan Jemplang, belok kiri ke arah Ranu Pani. Jika dari Lumajang, bergerak ke arah barat laut menuju Ranu Pani. Dari Ranu Pani, perjalanan ke Ranu Kumbolo dilanjutkan dengan berjalan kaki 5 – 6 jam melalui jalur pendakian normal menuju Gunung Semeru.
How to get there
To reach Ranu Kumbolo, we can start from Lumajang, Malang or Probolinggo, any of them to Ranu Pani. Generally, local hikers will take Malang as starting point because more convenient, more transportation alternatives, and more lodging and outdoor equipment provider/rent. Transportation alternatives are train to Malang Baru station, Buses to Arjosari Terminal, and Airplane to Abdur Rahman Saleh airport in Malang or Juanda Airport in Sidoarjo, continue by land transport to Malang. The road to Ranu Pane are damaged and have high slopes, so it will be better to rent 4WD car. The road upgrading project in October 2013 may improve the access to get there. The route will  be Malang - Tumpang - Jemplang - Ranu Pani. From Ranu Pani, the journey to Ranu Kumbolo will be continued by walking hilly track of about 8 miles that is approximately 5-6 hours on foot, depend on our pace.

Padang savana Ranu Kumbolo // Ranu Kumbolo's Savana