Travelling

Exploring Indonesian's magnificent places is my passion

Mountain Bike

The most exercise I did during my free time

Photography

To capture the beauty of the places I've visited

Culinary

The other reason why I love to go traveling

Engineering

Because big dreams never come so easy

Moto-Adventure

Graze the road and enjoy the adventure from each and every miles

Episode Blusukan Muara Badak, Bag.3 (Dermaga Jawi-Jawi)

Hari ini hari training "Corporate Induction" terakhir dimana saya seharusnya sudah istirahat lapangan (field break). Artinya, back-to-back saya sudah masuk kerja, sehingga setelah training ini saya tidak bisa bertugas ke kantor. Karena training selesai pukul 04:00 sore, maka sisa waktu ini saya manfaatkan untuk berolahraga (baca : gowes blusukan lagi/aji mumpung). Berhubung posisi matahari lebih ke timur, sehingga matahari terbenam lebih cepat (cari sendiri referensinya ya, soal inklinasi bumi). Artinya daya jelajah lebih terbatas dan karena saya gowes sendirian, saya tidak bisa blusukan jauh-jauh, seperti ke Marang Kayu atau Pantai Mutiara Pangempang.

Belajar dari keteledoran sebelumnya (bawa tripod tapi tidak bawa tripod mount nya), kali ini saya memiliki persiapan yang cukup dan tidak terburu-buru. Tujuan gowes saya? Dermaga Jawi-Jawi.

Dermaga ini sebenarnya lebih panjang dari ukurannya yang sekarang, dikarenakan ujung dermaga ini sudah roboh tenggelam. Tidak jelas sejak kapan dermaga ini dibangun, namun karena bahannya adalah kayu ulin (atau kayu Jawi-Jawi?) yang legendaris, dermaga ini awet, kecuali bagian ujung dermaganya hehe.

Setiap sore tempat ini banyak didatangi pemuda-pemudi sekitar untuk nongkrong-nongkrong atau balapan liar. Ada juga yang sengaja datang untuk memancing. Pada sore hari, jika langit cerah, pemandangan di sini sangat indah. Kawanan burung bangau blekok putih atau hitam terbang melintas. Vandalisme pun tidak terlalu terlihat di dermaga ini. 

Menurut saya, ini tempat paling mantap untuk relaksasi melepas penat setelah bekerja.

Duduk bersandar di dermaga kayu dan relaksasi pikiran
Dari dermaga ini, kiri dan kanan adalah selat
Lokasi tujuan bersepeda paling Favorit

Episode Blusukan Muara Badak, Bag.2 (Toko Lima)

Setelah sebelumnya mengulas Kecamatan Muara Badak, kali ini saya akan mengulas tujuan gowes saya berikutnya, yaitu Kampung Nelayan Toko Lima. Berhubung hari ini hari diabetes nasional, dan ada anjuran berolahraga, ya sekalian saja saya minta izin pulang cepat (alibi banget padahal tiap hari tetep gowes).
 
Kampung nelayan ini terkenal dengan hasil olahan lautnya, yaitu ikan asin. Sepanjang jalan terdapat tempat penjemuran ikan asin plus bau amisnya yang khas. Selain itu, daerah ini dikenal sebagai tempat membeli ikan segar dan udang-udangan, termasuk kepiting bakau. Mungkin saja restoran-restoran seafood di Bontang, Samarinda, dan Balikpapan membeli pasokan ikan segar dan udang-udangan dari sini. Selama saya mengamati aktivitas bongkar muat ikan dari kapal ketinting sore ini, yang terlihat hanya ikan bandeng dan ikan campur kecil-kecil untuk dibuat ikan asin.
 
Di perjalanan pulang saya melihat seorang bapak dan anaknya keluar dari rimbunnya bakau rawa dengan kakinya yang berlumpur. Di tangannya, terikat dengan rapi kepiting-kepiting bakau ukuran besar (kira-kira sekilo dua ekor). Kelihatannya baru saja panen jerat kepiting nih.
 
Daerah Toko Lima kemungkinan adalah kampung nelayan tertua di Muara Badak, karena disebut dari salah satu versi cerita asal muasal Muara Badak. Konon, seorang penjelajah Bugis keturunan Raja Bone, bernama Ismaila pada tahun 1806 datang menghadap ke Sultan Kerajaan Kutai Kartanegara untuk meminta sebidang tanah di pesisir. Sultan dengan senang hati memberikannya dan memintanya memilih sendiri daerah yang disukainya. Ismaila langsung jatuh hati pada daerah muara sungai Mahakam. Dengan menyusuri sungai tersebut ke hulu, sekitar 2 km dari muara, akhirnya sungai menjadi terlalu rapat untuk dilalui. Ismaila turun di tempat itu yang kini merupakan daerah Toko Lima. Perjalanan dilanjutkan ke daratan dan Ismaila akhirnya memilih dataran tidak jauh dari tempatnya berlabuh. Tempat tersebut banyak ditumbuhi tanaman tampura badak, sehingga akhirnya dinamai Muara Badak.
 
Asal mula nama Toko Lima sendiri saya tidak tahu. Mungkin dahulu hanya ada lima toko di daerah ini. Yang jelas, dermaga yang sudah rebah sebagian harus diperbaiki agar roda ekonomi desa ini tetap berjalan (update Maret 2014, dermaga ini sudah tenggelam, sisa satu bagian jetty dekat perkampungan yang biasanya untuk bongkar muat ikan)

Wilayah tepian sungai Toko Lima
Disclaimer : Sumber sama dengan cerita sebelumnya. Jika ada kekeliruan silakan komentar dengan bukti yang valid. Jika terbukti valid, penulis dengan senang hati akan merevisinya.

Episode Blusukan Muara Badak, Bag.1 (Desa Gas Alam)

Hari pahlawan. Hari ini diperingati sebagai hari pahlawan mengenang peristiwa 10 November 1945 dimana terjadi peristiwa heroik untuk mempertahankan kemerdekaan Indonesia yang memakan ribuan korban dari pejuang rakyat. Peringatan tadi pagi dilakukan dengan membunyikan klakson selama 30 detik, dilanjutkan dengan mengheningkan cipta selama 10 menit pada pukul 09.05 pagi. Secara pribadi, saya akan melakukan olahraga sepeda menyusuri perkampungan penduduk sekitar camp atau kerennya disebut blusukan (meskipun nggak nyambung banget dengan tema hari pahlawan sih).
 
Pada rangkaian tulisan kali ini, saya ingin memperkenalkan desa Muara Badak yang mencatatkan sejarah perkembangan LNG di Indonesia. Pada bagian pertama saya akan memulainya dari pusatnya, yaitu desa Gas Alam, Muara Badak.
 
Asal muasal desa Muara Badak sendiri bukan desa yang berdiri oleh penduduk asli Kalimantan, melainkan dari pulau seberang, Sulawesi Tenggara. Kalimantan Timur memang berbatasan langsung dengan Selat Makassar. Kalimantan Timur saat itu berada di bawah naungan kerajaan islam tertua di Indonesia, Kerajaan Kutai Kartanegara. Ada banyak versi mengenai asal-usul desa ini yang pernah saya dengar dari sesama pekerja, namun terdapat tiga versi cerita asal muasal desa ini. Selengkapnya bisa melihat ke sumber berikut.


Yang menjadi kesamaan dalam ketiga cerita tersebut adalah asal muasal nama Muara Badak. Meskipun mengandung nama badak, namun asal kata badak bukan berasal dari nama hewan bercula berkulit tebal itu, namun berasal dari tanaman tampura badak yang dulu terdapat di sekitar sini. Memakai nama muara karena daerah ini memang menjadi bagian dari anak-anak sungai dari Sungai Mahakam, sungai terpanjang di Indonesia, yang bermuara ke Selat Makassar.
 
Dari ketiga cerita tersebut, bisa ditarik kesamaan bahwa sekitar tahun 1800-an penjelajah Bugis (atau suku lainnya dari Sulawesi Selatan) datang menghadap Sultan Kerajaan Kutai Kartanegara di Tenggarong dan meminta restu atas sebidang tanah di daerah Muara yang kaya. Di tanah tersebut banyak tumbuh tanaman tampura badak, sehingga daerah tersebut pun akhirnya dinamakan Muara Badak.
 
Lalu pada sekitar masa penjajahan Belanda, sudah dilakukan eksplorasi besar-besaran di daerah ini dan beberapa tempat potensial penghasil minyak di Indonesia. Pada tahun 1968, berbekal data eksplorasi dari pemerintah Hindia Belanda, Pertamina yang saat itu masih memiliki fungsi regulasi (saat ini dipecah menjadi SKK Migas di bawah Kementrian ESDM), memberi kontrak bagi hasil kepada HUFFCO, perusahaan perminyakan dari Houston, Texas, untuk mengelola sebuah area seluas 631,000 hektar di daerah delta Sungai Mahakam, tepatnya di daerah cekungan Kutai, yang kini dikenal sebagai blok Sanga-Sanga. Saat itu gas bukan komoditi yang dicari, melainkan minyak. Namun hasil dari eksplorasi pertama di daerah Badak, yang ditemukan adalah gas alam dengan jumlah yang sangat besar. Daerah ini dinamakan Badak-1 yang merupakan asal-usul Lapangan Badak. Lokasi lainnya yang memiliki potensi yang sama adalah di Arun, Aceh Utara. Sayangnya, saat itu gas alam belum memiliki nilai jual ekonomis seperti minyak bumi. Lokasinya yang terpencil dan pasar yang belum jelas, menyebabkan sumber kekayaan alam ini hampir saja ditinggalkan. Namun atas usulan dari Direktur Utama Pertamina saat itu, Dr. Ibnu Sutowo, gas alam itu akan diolah menjadi gas alam cair. Industri gas alam cair pun saat itu belum booming di dunia, karena baru muncul sekitar 4-5 tahun sebelumnya. Akhirnya usulan ini disetujui oleh Presiden RI saat itu, yaitu Soeharto.
 
Berbekal kepercayaan diri yang mantap, Pertamina didukung oleh HUFFCO dan mitra usahanya, berhasil membuat kontrak penjualan gas alam cair pada 3 Desember 1973 untuk lima Industri dan pembangkit listrik di Jepang untuk kurun waktu 20 tahun yang dikenal sebagai kontrak 1973. Enam bulan berikutnya, yaitu Juni 1974, berdiri kilang pengolahan gas alam cair di pantai Bontang untuk memenuhi kontrak tersebut  yang dinamakan PT. Badak. Nama PT. Badak dipilih untuk mengabadikan nama lokasi sumur pertama yang menjadi tonggak sejarah berdirinya kilang ini.
 
Berkat keberadaan kekayaan alam ini, HUFFCO mulai merekrut penduduk lokal untuk menjadi pekerjanya, sehingga penduduk yang sebelumnya adalah petani dan nelayan menjadi lebih makmur. Seiring dengan bertumbuhnya fasilitas dan roda ekonomi di daerah Lapangan Badak, daerah ini mulai menjadi daya tarik penduduk sekitar untuk tinggal di sekitarnya. Desa yang dibentuk pertama kali dan terdekat dengan fasilitas camp HUFFCO Lapangan Badak diberi nama Desa Gas Alam. Di desa ini terdapat dua tugu yang menjadi simbolik kejayaan gas alam di daerah ini. Saat ini dibangun tugu baru di simpang 6, yaitu persimpangan yang menjadi pintu masuk utama menuju Lapangan Badak.
 
Tahun-tahun berikutnya, kegemilangan gas alam ini berlanjut dengan ditemukannya lapangan-lapangan lainnya, yaitu Nilam, Lempake, Semberah, Mutiara, Pamaguan, Beras, Lailawi, dll. Selain itu, di dekat area konsesi migas Blok Sanga-Sanga, ditemukan lagi blok baru, yaitu blok Mahakam yang terkenal hingga kini. Blok tersebut dioperasikan oleh perusahan Prancis, Total Indonesie. Pada masa kini, potensi blok Sanga-Sanga sudah tidak sebesar dahulu.  HUFFCO mengalihkan hak operasinya ke VICO yang sampai saat ini beroperasi. Sumber daya gas alam yang mulai menurun produksinya, menyebabkan eksplorasi bergeser ke area lepas pantai. Mulai muncul lapangan-lapangan baru di lepas pantai, seperti Gendalo-Gehem, dan lain-lain.
 
Siapa sangka, daerah yang dahulu hanya muara tepian yang menjadi kampung nelayan Bugis kini menjadi kota-kota Besar yang kita kenal sebagai Bontang, Samarinda, dan Balikpapan. Bahkan disebut-sebut sebagai Kabupaten terkaya di Indonesia.
 
Sumber : dari obrolan2 di warung-warung, blog komunitas fotografi Muara Badak yang disebutkan di atas, laporan KP (nama pengarangnya dirahasiakan, karena umumnya bagian ini copy paste, wkwkwk), dan penalaran penulis sendiri.
Disclaimer : kalau ada bagian di dalam ulasan ini yang kurang tepat, silakan dikomentari dengan melampirkan sumber yang valid. Jika terbukti valid, saya dengan senang hati merevisi perbaikan tersebut.
Tipikal perkampungan Muara Badak, rumah Panggung di atas rawa-rawa
Tugu Simpang Enam

Arbei Hutan Si Kecut Penyelamat Nyawa

Rubus reflexus ker. atau yang dikenal sebagai arbei hutan merupakan keluarga raspberry, biasa tumbuh di daerah pegunungan dengan ketinggian sampai dengan 2600 mdpl. Rasa yang manis asam kecut bisa menjadi pelepas dahaga. Namun jangan diambil berlebihan karena arbei hutan ini adalah pakan alami burung dan monyet yang tinggal di hutan itu.
Rubus reflexus ker. or popularly called forest berry, is a family of raspberry. It grew in mountainous environment with the altitude approx. 2600 asl. The fruit tastes sweet and a bit sour and effective for the cure of thirsty. But as the mountaineer's rule : don't take it excessively, because it is indeed natural food for birds and monkeys in the forest
Rubus reflexus ker. I found in Ijen
Rubus reflexus ker. I found in Semeru

Saya selalu mengambil beberapa butir setiap mendaki. Hanya untuk mengobati rasa kangen terhadap rasanya. Buah arbei ini saya temukan hampir di beberapa gunung yang sudah saya daki. Di Gunung Semeru, tanaman ini banyak terdapat di antara pos 2 hingga Ranu Kumbolo. Di Gunung Ijen, hampir sepanjang perjalanan menuju kawah terdapat tanaman ini. Di Gunung Rinjani, tanaman ini banyak di temui antara Pos 3 Senaru dan Plawangan Senaru.
I always took a few of them every hiking. It did that because I love how it tastes. I found them in almost every mounts I have hiked. In Mt. Semeru, this plant can be found between second post (Watu Rejeng, I recalled) to Ranu Kumbolo lake. In Mt. Ijen, this plant can be found in almost all the way up to the crater. In Mt. Rinjani, this plant can be found between the third post from Senaru, up until Plawangan Senaru
Rubus reflexus ker. I found in Rinjani

Tanaman ini termasuk jenis semak perdu, batang yang berambut dan memiliki duri di ketiak daun. Meskipun kecut tapi siapa sangka, mahasiswa Universitas Brawijaya Malang yang sempat hilang di Semeru tahun 2012 bisa bertahan hidup dengan memakan arbei hutan ini.
This plant is classified as bush, a hairy branches and equipped with thorns on its axillary buds. Rather of its sour taste, who knows that the lost Mt. Semeru hiker from Brawijaya University in 2012, survived by eating these fruits.
Spesies lain arbei hutan yang lebih manis namun meninggalkan kesan gatal di tenggorokan // Other species of forest berries that is more sweet but leave itchy sensation in the throat