Sore itu di dermaga Labuan Bajo, rombongan yang hanya ikut LOB dan yang lagi Honeymoon di Labuan Bajo, berpisah dengan kami yang akan berangkat overland Flores. Rencana awalnya kami akan melakukan perjalanan malam lalu menginap di rumah pastor seperti asrama/homestay di suatu gereja di kaki waerebo, dimana mobil sewaan direncanakan berangkat pada malam ini. Namun karena dasarnya kami masih kecapekan setengah mati serta ada agenda mendaki ke waerebo yang juga bakal menguras tenaga, rombongan overland flores meminta agar bisa tidur dengan efisien malam ini, jadi opsi perjalanan malam atau tidur di mobil dibatalkan. Karena perubahan ini, kami harus mencari hotel menginap dengan biaya masing-masing. Wuki selaku tour leader untungnya fleksibel dan mengatur kembali mobil sewaannya. Jadi perjalanan ke waerebo akan dilakukan besok pagi nya. Sepagi mungkin.
|
Waerebo di pagi hari bersama Saya, Hendra dan Zhafir |
1 Juni sebenarnya adalah tanggal merah, di hari senin untungnya jadi hotel tidak ada yg penuh. Namun supaya berangkat bisa efisien, kita mencoba mencari hotel yang ramah di kantong dan bisa menampung semua anggota overland. Namun sayangnya beberapa anggota akhirnya harus terpisah juga dan kita janjian harus packing dan siap berangkat sepagi mungkin.
|
Jalan belokan Trans Flores di tanjakannya, terlihat Labuan Bajo di bawahnya |
Mendaki ke Kampung Adat Waerebo
Pada pagi harinya, 2 Juni 2015, sesuai rencana, saya sudah siap berangkat karena minim packing. Kebanyakan bongkar-bongkar ransel tadi malam utamanya menyelamatkan piranti kamera dan hp saya agar baterainya terisi penuh. Tidak lupa memindahkan isi memory card ke hp agar memori di kamera lebih lowong. Setelah sarapan, saya, zhafir, hendra dan wuki sudah mejeng di pinggir jalan labuan bajo. Karena hari kerja, kondisi jalan ini, mungkin kalau lagi musim liburan atau ramai bisa kaya jalan legian di Bali. Kita menyisir jalan cari sarapan, dan tetap nggak ketemu satupun. Akhirnya kita dapat warung indomie dan sarapan. Sekalian membeli perbekalan di mimimarket untuk bekal cemilan di jalan karena jarak ke waerebo bisa 5-6 jam perjalanan dari Labuan Bajo. Peserta overland sudah kumpul, 2 mobil avanza tiba, dan pembagian mobil dilakukan. Saya dan hendra adalah yang badannya bongsor jadi pasti di kursi depan. Sisanya di kursi tengah bertiga dan kursi belakang dan atap untuk tas dan barang-barang. Perjalanan dimulai pukul 09:00 waktu setempat.
|
LOVE from Waerebo |
Jalan menuju waerebo benar-benar kontras dengan Labuan Bajo. Yang saya kira akan melewati jalanan lurus dan panjang di sisi tebing pantai, ternyata melewati jalur tengah dimana dominan jalan pegunungan, sawah dan perkampungan. Ini adalah jalan utama (Jalan Trans Flores) dari Labuan Bajo ke Ruteng. Dari Jl.Ruteng ada pertigaan kami ke arah selatan menuju Satar Lenda, ketemu laut (patokan ada terlihat Pulau Mules di kiri jalan) lalu belok ke utara ke Satar Mese sampai ke desa Denge. Tidak lupa mampir dulu membeli makan siang di pasar Satar Mese, dimana saya beli ikan bakar/asap. Kata Wuki, Guide Waerebo sudah menyiapkan makan siang di kaki gunung. Sudah sore saat itu dan kami baru tiba di Gereja St.Petrus dan Paulus di desa Denge kaki gunung Waerebo. Tadinya kami akan menginap di rumah singgah gereja tersebut (atau homestay Blasius Monta) namun tidak jadi karena kami sudah kelelahan di Labuan Bajo. Setelah makan siang, jam 4 kami mulai mendaki waerebo, kampung adat yang diakui sebagai warisan UNESCO. Saya maju duluan bersama guide di depan dan guide lainnya di belakang membawa tim perempuan. Saya, zhafir, wuki dan Hendra menjadi rombongan paling depan duluan. Pendakian saat itu 5 jam karena medan menjadi berat licin sehabis hujan. Selain itu banyak pacet yang kami bersihkan dengan air rendaman puntung rokok. Pendakian juga melewati petang dan jam 9 malam kami sudah tiba di pos kentongan. Disini guide yang akan memukul kentongan yang menandakan ada tamu yang akan berkunjung. Setelah itu perwakilan adat dari kampung akan menemui kami di pos tersebut dan akan memberi tahu apakah kami diterima atau tidak untuk berkunjung.
|
Perjalanan ke Waerebo akan melewati pantai selatan Flores yang berbatu |
Sebenarnya hal ini hanya formalitas karena kita sudah koordinasi dengan guide setempat sebagai pihak yang mengundangnya dan akan menampung kami di rumahnya. Setelah tim terkumpul semua, guide memukul kentongan dan kami dijemput oleh perwakilan dari ketua adat. Kami dibawa menuju rumah ketua adat beserta semua barang bawaan kami. Kami menemui ketua adat dan diadakan upacara penerimaan tamu. Kami seperti diberi mantra-mantra dan kami memberikan hadiah simbolik kepada ketua adat. Disana kami dijamu segelas kopi yang ternyata memang dibudidayakan disini secara adat. Jujur kopi tersebut enak sekali hingga membuat saya berniat untuk membawa biji kopi sangrainya untuk oleh-oleh. Setelah upacara penerimaan tamu selesai kami dibawa guide ke rumahnya untuk menginap. Rumah guide ini sama dengan rumah-rumah di waerebo pada umumnya yaitu berbentuk lingkaran dari batu yang ditumpuk-tumpuk lalu dilapisi dengan sekam, lalu ditutup atap kerucut yang tinggi yang juga terbuat dari ijuk enau dan rangka bambu rotan. Di bagian tengah ruangan ada tungku besar untuk memasak dan untuk api penghangat karena waerebo itu berada di ketinggian 1,200 mdpl jadi udaranya dingin. Kamar mandi tersedia di luar rumah berupa bangunan tembok permanen yang beratapkan seng serta sudah ada listriknya untuk lampu.
|
Hanya rumah tamu yang diberi listrik/lampu, rumah lainnya menggunakan perapian sebagai penerangan rumah |
Guide memberi kami makan malam dan setelah menyantap makan malam, beberapa rekan beristirahat. Saya, zhafir dan hendra memutuskan untuk nongkrong dulu di luar menikmati udara bersih pegunungan sambil melihat bintang. Karena disini tidak ada cahaya lampu rumah, langit terasa sangat berbeda. Jernih dan terbuka luas. Di tengah-tengah lapangan ada semacam altar dimana kami sudah diberi peringatan tidak melakukan di lokasi tersebut karena lokasi tersebut disakralkan. Sekitar tengah malam akhirnya kami tidak bisa menahan kantuk dan udara yang semakin dingin. Akhirnya kembali ke dalam rumah singgah tersebut. Meskipun hanya diberikan alas tidur seadanya, mungkin karena lelah dan udara dingin, kami semua tidur nyenyak di dalam rumah tersebut melingkari perapian di tengah-tengah rumahnya. Tidak lupa saya memesan 1 kg kopi arabika, 1 kg robusta dan 1 kg columbia, varietas kopi yang ditanam disini, kepada guide lokal selaku tuan rumah yang menjamu kami. Kata beliau, roasting akan dilakukan pada dini hari. Sebenarnya kalau doyan roasting di rumah, bisa memesan versi green bean nya.
|
Ruangan di dalam rumah tamu, tidur akan beralaskan tikar dan kasur lipat serta selimut tipis, melingkari perapian di tengah ruangan, jika perlu bawa sleeping bag sendiri |
Pagi harinya, kami mengumpulkan anak-anak karena kami sudah mengumpulkan buku-buku bacaan anak, pelajaran, dan mainan untuk anak-anak di waerebo. Ini inisiatif salah satu peserta yang diteruskan oleh tour leader ke semua peserta overland. Tampak kebahagiaan di wajah mereka karena untuk bersekolah mereka turun gunung ke rumah singgah gereja di kaki gunung dan menginap disana atau sanak keluarganya jika ada. Jumat sore mereka kembali naik gunung dan kembali turun di minggu sore. Ini kalo istilah pekerja di Jakarta adalah PJKA (Pulang Jumat Kembali Ahad). Anak-anak usia belum sekolah masih tinggal dan bermain di atas gunung waerebo. Kebayang kan, mainan dan buku bacaan bukan hal yang mudah didapatkan disini.
|
Anak-anak Waerebo dikumpulkan untuk dibagi buku-buku bacaan dan mainan |
Yang juga menarik perhatian saya adalah mereka berkebun kopi dan mengolahnya secara tradisional atau adat. Karena secara tradisional, kopi tersebut dipanen pada saat tertentu saja dan dipetik manual tanpa ada target produksi. Artinya biji kopi yang diipetik adalah biji kopi dengan kualitas terbaik. Ini terbukti ketika pagi hari saya tracking ke arah sungai, kebun-kebun kopi sudah penuh dengan biji kopi yang sudah matang/merah namun belum dipetik. Ketika saya tanyakan, kopi tersebut baru dipetik pada masa-masa tertentu saja. Tidak terkecuali ada kotoran luwak (potensi kopi luwak) yang tidak diambil atau diolah masyarakat sekitar, mungkin karena ketidaktahuan masyarakat tentang potensi ekonomi kopi luwak, apalagi kopi luwak alami atau non-ternakan. Lapangan rumput di antara rumah-rumah dipasangi terpal dan para penduduk mulai menjemur biji kopi. Sementara para pria berkebun atau berladang, atau turun gunung untuk berdagang. Khusus berdagang, hasil bumi pegunungan dijual untuk membeli beras, garam, dan ikan asin atau hasil laut yang diawetkan.
|
Peraturan bagi tamu yang menginap di Waerebo |
Menjelang siang, kami packing bersiap turun gunung. Kami berpamitan dengan tuan rumah dan tidak lupa 3 kantong kresek hitam penuh biji kopi sangrai pesanan saya diserahkan saat itu juga. Karena sudah hapal jalurnya, saya dan zhafir melaju duluan trail run hitung-hitung olahraga pagi. Yang tadinya perjalanan naik dengan waktu 4-5 jam, perjalanan turun saya tempuh kurang dari 2 jam. Berkat sepatu khusus trail run yang saya pakai, jalan turun tanah liat becek yang licin bisa saya libas dengan mantap. Bahkan di jalur yang harus menyebrangi sungai, saya malah berhenti sebentar untuk mencuci sepatu yang penuh dengan tanah liat. Sepatu basah saya jemur dengan digantungkan di sisi kiri kanan ransel lalu saya lanjutkan perjalanan di medan batu makadam dengan sendal gunung. Pukul 12 saya tiba di titik parkir mobil dan mulai memuat kembali ransel saya ke dalamnya. Sedangkan makan siang ternyata sudah disiapkan yaitu nasi goreng dan telur. Namun kami menunggu semua kumpul untuk menikmati hidangan tersebut. Setelah ini perjalanan kami lanjutkan terus ke sisi timur untuk menuju Bajawa.