Travelling

Exploring Indonesian's magnificent places is my passion

Mountain Bike

The most exercise I did during my free time

Photography

To capture the beauty of the places I've visited

Culinary

The other reason why I love to go traveling

Engineering

Because big dreams never come so easy

Moto-Adventure

Graze the road and enjoy the adventure from each and every miles

Eksotisme Flobamora, Jelajah Flores, Kembali Ke Masa Kecil (Part 2/7)

Setelah dua hari melakukan pelayaran di perairan Lombok Timur dan Bima, dimana Pulau Satonda menjadi titik perpisahan kami dengan daratan Nusa Tenggara Barat dan kapal pinisi kami terus melaju ke arah timur. Seolah melepaskan kepergian kami, Pulau Tambora yang memiliki gunung yang megah, memunculkan pelangi yang indah hingga sempurna setengah lingkaran, yang kedua ujungnya sempurna juga menghujam ke laut. Di balik mendung, Puncak Tambora yang gagah disinari oleh cahaya sunset sore itu hingga akhirnya pemandangan sunset yang sempurna di tengah lautan sebelah barat dari buritan belakang kapal, seolah juga mengucapkan selamat jalan.

Gili Lawa Darat (Gili Laba) sebelah Timur

2. Akhirnya Kepulauan Komodo : Pulau Gili Lawa Darat (Gili Laba) dan Pink Beach.

Malam hari ketika kapal melewati Selat Sape, saya terbangun. Cipratan air laut mengenai wajah saya ketika sedang tidur. Saya lihat teman-teman yang lain masih terlelap, dan ketika perlahan saya tersadar, saya pun merasa kapal ini oleng ke kanan dan ke kiri. Sambil mengintip di terpal yang sengaja ditutup agar kami tidak diterpa cipratan ombak atau hujan, tidak terlihat apa-apa karena hari masih gelap, masih pukul 03:00 pagi. Ya saya pun memutuskan bangun dan sambil melangkah hati-hati di lorong yang penuh dengan teman-teman yang tidur di posisi lorong, serta goyangan kapal yang membuat keseimbangan badan terganggu, saya akhirnya sampai di ruang kemudi kapal. Di depan tidak terlihat apa-apa, namun dari posisi GPS kapal, kami saat ini sudah berada di perairan Selat Sape, yang terkenal karena ombaknya yang liar dan arusnya yang deras. Nahkoda kapal yang ternyata terkantuk-kantuk mengatakan bahwa kemungkinan kita akan on-time sampai ke Gili Lawa Darat atau juga dikenal sebagai Gili Laba, pada saat sunrise. Setelah mengobrol sebentar saya melanjutkan tidur dan set alarm di jam 05:00 pagi.

Matahari terbit di Pulau Gili Lawa, dari Selat Sape

Pagi itu, saya adalah orang pertama yang bangun, karena saya punya kebiasaan untuk "nyetor" ketika bangun tidur. Kalau bangun agak siang, tentu saja akan mengantri sebab kamar mandi cuma ada 2, sedangkan jumlah kami begitu banyak. Setelah cuci muka dan sarapan bekal yang saya bawa, saya langsung menuju ke anjungan kapal dan minum teh hangat sambil menunggu sunrise. Kamera olympus TG3 sudah berada di atas tripod, dan saya mencoba membuat video timelapse. Ternyata sunrise berada di sisi kiri kapal berarti kami sudah mengarah ke selatan. Di depan samar-samar terlihat pulau-pulau dan ya memang kami sudah memasuki perairan Pulau Komodo. Kapal pun sudah tidak ngebut seperti semalam, dan setelah saya tanya Wuki, rencana berubah, targetnya memang bukan sunrise di atas bukit, jadi santai saja. Sarapan pun disiapkan, seperti biasa, pancake pisang yang ditaburi gula pasir dan dilumuri susu kental manis coklat. Saya pun siap-siap juga dengan mempacking semua peralatan kamera saya di tas ransel kamera Consina berwarna camo, cocok untuk aktivitas wildlife. Di perjalanan memasuki perairan Kepulauan Komodo ini, kapal kami disambut sekawanan besar lumba-lumba hidung botol, yang suara cicitannya terdengar dari atas anjungan kapal.

Trekking Gili Laba

Kapal pun buang jangkar dan saatnya kami bersiap turun dan menggunakan boat untuk menuju Pulau Gili Laba. Sudah ada Kapal yang merapat disini dan saya yakin itu kapal dari Labuan Bajo. Kapal sebesar kami isinya cuma satu keluarga bule sekitar sepuluh orang, enak betul. Saya yang sudah siap dari tadi mengambil posisi agar turun pertama kali. Saat itu rombongan pertama adalah saya, Atar, Zhafir, Melda, Hendra, Rico, dan Rima. Atar yang maniak lari melaju kencang di jalur tanjakan curam menuju puncak bukit Gili Laba, diikuti saya, Zhafir dan Rico. Kami melaju menyalip rombongan keluarga bule itu dan sampailah kami di atas pada timing yang tepat, saat masih golden hour. Tidak pakai lama, tripod yang saya pakai sebagai trekking pole yang sudah tertancap kamera olympus mulai mengambil video selfie hehehe. Kamera 70d dan 24-105L pun sudah siap mengalungi leher. Benar kata orang-orang kalau Kepulauan Komodo itu surganya bagi pecinta fotografi. Kemana mata memandang, ini surga bung!.

Gili Laba (Gili Lawa Darat) dari puncak bukitnya, lumayan terjal kan?

Rombongan bule dan teman-teman yang lain pun datang, rata-rata membawa tongsis dan go pro dan mulai bernarsis ria di atas bukit itu. Mereka sepertinya sudah cukup puas untuk sampai puncak bukit itu, namun saya masih penasaran dengan jalur trekking yang jelas terlihat ini. Saya tanya Wuki, kita disini sampai jam berapa? Katanya jam 09:00, maka saya rasa cukup waktu bagi saya untuk menjelajahi jalur trekking itu dan sampai di pantai lagi sebelum jam 09:00. Saya pamit ke Wuki dan menjelajahi jalur trekking sementara yang lain masih riuh narsis dengan tongsis dan gopro masing-masing. Kali ini di kepala tripod terpasang kamera dslr, dan tripod masih menjadi trekking pole.

Gili Lawa Darat (Gili Laba) ke arah Barat, terlihat laguna tersembunyi disana

Keputusan saya tepat. Banyak sisi indah lainnya di Pulau Gili Laba kalau kita mau menjelajahinya. Mirip dengan Indonesia, banyak sisi indah yang hanya bisa kita alami kalau kita mau menjelajahinya. Di balik bukit ada laguna dan ada kapal pinisi yang bersandar disana. Tampaknya kapal itu penghobi night diving, karena kalau saya jadi mereka, laguna adalah tempat terbaik untuk aktivitas itu. Berjalan terus terlihat dua elang laut besar yang terbang sangat rendah mengelilingi bukit dimana saya berada yang ditumbuhi ilalang setinggi leher. Peduli setan kalau ada komodo disini, karena yang saya baca, disini tidak pernah ada riwayat komodo. Saya berjalan terus menjejak jalur dan sempat hampir salah jalur ketika dihadapkan dengan jalur yang terjal. Saya balik arah dan mencoba jalur lain. Trekking lumayan jauh dan hambatan lainnya adalah terik panas matahari NTT yang serasa 3 kali lebih panas dari pulau Jawa, bahkan masih pagi seperti ini sudah terasa mambakar. Saya pernah tinggal di lingkungan seperti ini dulu, malah merasa kegirangan dan seperti kembali ke masa kecil saat masih SD dan insting menjelajah saya sangat kuat. Sekitar pukul 08:45 saya sudah sampai kembali di pantai, bahkan orang pertama yang sampai di pantai. Teman-teman yang lain yang tidak mengambil jalur trekking kelihatan kesusahan menuruni bukit jalur kita naik pagi tadi karena cukup terjal. Beberapa teman yang lain kelihatannya ada yang mengikuti jejak saya, bahkan Zhafir yang tiba-tiba ada di belakang saya bilang kalau saya adalah trendsetter, karena gara-gara saya, yang lain yang tadinya ragu-ragu ke jalur trekking, jadi percaya kalau mereka tidak akan tersesat, karena buktinya saya bisa dan sampai di pantai dengan selamat. Saya sendiri juga bilang kalau saya juga tidak tahu jalannya kok, nekat saja lol. Terbukti rombongan Budi sepertinya juga menemukan jalur yang menuju tebing terjal seperti saya, bedanya mereka sempat turun sebelum putus asa karena memang tebingnya terlalu terjal. Wuki sebagai tour leader juga bingung menanyakan apakah saya pernah kemari (hehehe).


Dua elang laut besar yang kelihatannya bersarang di Pulau ini

Setelah terkumpul beberapa orang, kami memanggil kapal jemputan supaya mengantarkan kami kembali ke Kapal Pinisi. Setelah terkumpul semua, saya menunjukkan kepada mereka hasil foto saya selama trekking dan mereka akhirnya menyesal tidak mengambil jalur trekking tadi, karena mereka hanya dapat view di puncak Gili Laba saja, yaa bisa datang lain kali lah. Kapal pun menuju selatan ke arah Pulau Komodo, namun tujuan kami adalah ke Pink Beach. Di perjalanan menuju Pink Beach, pulau-pulau di kiri kanan sama seperti sewaktu dulu, hanya berupa pulau bebatuan yang ditumbuhi savana dan sangat sedikit pohon. Adanya pohon pun hanya sekedar pohon buah kom. Benar-benar pemandangan yang khas dari daerah timur. Belum lagi banyak penyu yang berenang di permukaan dan ketika kapal kami lewat, langsung menyelam menghilang ke dasar laut. Mirip sekali sewaktu saya di Derawan.
Pink Beach dari atas bukit

Tidak lama kami sampai di dekat Pantai Pink (Pink Beach). Saya sudah siap dengan setelan rushguad, celana pendek, booties, mask, snorkel dan fin Cressi Pro-light series, namun karena panggilan alam, saya baru keluar ketika sudah angkutan perahu ketiga. Tiba-tiba anak-anak penduduk Pulau Komodo merapatkan sampannya ke kapal kami, memanjatnya dan menjajakan kalung mutiara, pahatan patung kayu komodo, dan kerajinan dari kulit kerang. Karena kasihan, saya membeli patung pahatan Komodo seharga Rp. 50 ribu, yang ternyata di pusat penjualan suvenir nanti, patung tersebut dihargai sekitar Rp. 250rb.

Anak-anak pulau yang mendatangi kapal kami di tengah laut menggunakan sampan, lalu menjajakan dagangan pahatan kayu berbentuk komodo, kalung mutiara, dan kerajinan kulit kerang

Saya rupanya telat, rombongan freediver Malaysia dan Wuki sudah turun dari kapal dan ke sisi kiri pantai. Tadinya saya ingin menyusul kalau tidak dicegah oleh kru kapal karena arus disini bisa kencang dan yang paling aman di pantai Pink karena secara teknis, pantai Pink adalah cekungan dari perairan deras. Kru kapal menyarankan saya ikut kapal motor saja ke pantai. Di pantai saya langsung snorkeling di sekitar Pink Beach dan saya kecewa karena meskipun ikannya besar-besar dan koralnya lebih kaya dari Pulau Satonda, namun airnya dangkal sehingga dengan berdiri pun sudah bisa keluar dari permukaan air. Akhirnya teman-teman yang belum lancar berenang dengan fin, berdiri di karang dan mengibas-ngibaskan finnya ke pasir sehingga air laut menjadi keruh. Karena tidak menyenangkan lagi snorkeling disini, saya kembali ke pantai dan ngobrol dengan kru kapal dan penduduk lokal yang menjajakan mutiara. Sedikit tawar menawar, saya berhasil menawar kalung mutiara besar-besar berwarna pink untuk adik perempuan saya di rumah, seharga Rp.100rb. Mereka menjamin keaslian mutiaranya dengan membakar mutiara tersebut dan tidak gosong atau meleleh. Wah great deal nih, karena nanti di pusat suvenir di Labuan Bajo atau di Pulau Komodo/Rinca nanti harganya bisa mencapai Rp. 400-500rb bahkan jutaan.

Ikan badut (clownfish) di anemon sekitar Pantai Pink (Pink Beach)

Saya pun mendaki bukit Pink Beach dan mengambil foto view Pink Beach dari atas bukit itu. Ada stasiun meteorologi di atas. Dan di belakang bukit, terlihat bahwa pantai ini berada di Pulau Komodo, Pulau terbesar di Kepulauan Komodo ini yang berpenghuni komodo. Sayangnya tidak ada larangan bagi pengunjung untuk melangkah lebih jauh ke dalam pulau Komodo, namun dari kesadaran sendiri, sepertinya tidak akan ada yang nekat menuju kesana. Sekedar tips, kalau mau naik kesini sebaiknya membawa sendal, karena saya yang menggunakan booties, akhirnya jadi licin dan sering kepleset dan ketika bertelanjang kaki, panasnya sudah seperti menempel ke penggorengan (ini beneran).

Lampu sinyal reflektor penanda daratan

Siangnya kami kembali ke kapal untuk makan siang sambil menuju ke Pulau Padar. Kami mengitari perairan Kepulauan Komodo karena sebenarnya kapten kapal belum familiar dengan arah menuju Pulau Padar. Pengalaman kesini sebelumnya, sang nahkoda salah parkir kapal di sisi Pulau Padar yang belum pernah dibuka jalurnya untuk ke puncak Pulau Padar. Kali ini dicari arah ke sisi pulau sebaliknya dari titik labuh yang dulu itu. Di tengah perjalanan, terlihat seekor paus menyemburkan air dari lubang napasnya. PAUS!! Ya, ini benar-benar dejavu perjalanan saya waktu kecil, saya melihat PAUS!!!. Kapal pun diarahkan menuju lokasi semburan tadi, namun pausnya sepertinya sudah menyelam jauh ke kedalaman lautan. Saya jadi terpikir suatu waktu nanti saya akan datang lagi ke NTT khusus ke perairan Lamalera Lembata yang terkenal dengan budaya penangkapan pausnya itu (yang kini hanya berupa perayaan simbolik, namun populasi paus bungkuk masih banyak lewat disana). Atau ke Teluk Cenderawasih Papua Barat atau Biduk-Biduk di Kalimantan Timur, dimana bisa bertemu dengan hiu paus.

Seekor paus bungkuk muncul ke permukaan dan menghembuskan air dari lubang napasnya

Tidak memakan waktu lama, akhirnya kami menemukan beberapa kapal yang parkir di Pulau Padar, artinya kami sampai di titik labuh yang tepat. Rencananya kami akan menikmati sunset disini sekaligus bermalam di titik labuh.
-bersambung-

Gallery :












Eksotisme Flobamora, Jelajah Flores, Kembali Ke Masa Kecil (Part 1/7)

Menjelajahi negeri Flores adalah keinginan yang sudah lama terpendam bahkan sejak saya masih kecil. Pada tahun ini, saya merencanakan untuk pergi ke sana sebagai destinasi wishlist saya tahun ini. Oleh karena itu, saya mulai merencanakan itinerari bahkan sejak awal tahun, namun saya akhirnya menyadari bahwa untuk bisa menjelajahi Flores dengan intensif, butuh banyak orang agar masih dikatakan ekonomis. Akhirnya saya memutuskan untuk ikut travel group saja namun dengan itinerari yang sama dengan rencana awal saya.

Seekor Ikan Clownfish di Pulau Satonda

Kembali ke masa kecil saya dahulu dimana saya tinggal di bumi Flobamora ini sejak saya berumur 6 tahun. Saat itu perjalanan menggunakan pesawat adalah suatu hal yang mewah, apalagi berpergian dengan keluarga dalam rangka mudik lebaran atau hanya sekedar liburan. Satu-satunya moda transportasi yang ekonomis adalah dengan jalur laut menggunakan kapal dari PELNI. Saat itu kapal yang melayani perjalanan laut keluarga saya dan selalu kami gunakan adalah KM.DobonsoIo. Saat itu jalur pariwisata Kepulauan Komodo tidak seramai sekarang, sehingga jalur kapal laut antar pulau seperti KM.Dobonsolo masih melewati Selat Sape di perairan Kepulauan Komodo lalu melaju di perairan utara NTB sebelum transit di Pelabuhan Benoa di Bali dan melanjutkan ke Tanjung Perak di Surabaya, dan akhirnya Tanjung Priok di Jakarta. Saat itu, saya hanya bisa memandang indahnya Kepulauan Komodo di kejauhan dari anjungan kapal. Saya berjanji suatu saat saya akan menapaki daratan eksotis tersebut. Hingga sekitar tahun 1998-1999, dimana terjadi kerusuhan konflik antar agama, yang menyebabkan kami sekeluarga memutuskan untuk pindah kembali ke Jawa Barat, tempat kelahiranku dan kampung halaman orangtuaku. Namun perjalanan terakhir saya saat itu memberikan kenangan yang membuat saya semakin tidak bisa melepaskan keinginan saya untuk benar-benar ada di sana. Seekor paus yang melompat dekat kapal mengiringi kepergian saya dari tanah Timor ke Pulau Jawa. Hingga akhirnya, setelah 16 tahun berlalu, saya yang sudah memiliki penghasilan sendiri, mewujudkan mimpi masa kecil saya selama ini.

Menikmati keindahan Danau Satonda

Dengan waktu luang yang cukup dan bertepatan dengan musim laut tenang di perairan Timor, serta akhir musim hujan, saya memantapkan diri untuk merealisasikan rencana saya. Kebetulan juga saya menemukan travel di forum Backpacker Indonesia yang akan mengadakan perjalanan ke sana dengan harga yang ekonomis. Bagi saya lebih nyaman tidur di hotel seribu bintang daripada hotel bintang lima. yaa, beda orang beda selera kan? Travel yang saya gunakan adalah Wuki Traveler, dimana saya akan melakukan perjalanan laut dengan berlayar (Live on Board) atau LOB Lombok - Labuan Bajo sambil Hopping Islands selama 4 hari, lalu dilanjutkan dengan penjelajahan darat Pulau Flores (Overland) selama 5 hari. Selain itu, saya mengaIokasikan satu hari untuk nostalgia masa kecil di kota kampung halaman saya yang kedua, yaitu Kota Kupang.

Kapal Pinisi untuk Live on Board
Kapal jemputan yang membawa kita ke tepian


1. Penjelajahan Laut Lombok Timur dan Sumbawa

Sesuai dengan itinerari dari travel, meeting point ditentukan di Bandara Lombok International (LOP) paling lambat pukul 09:00. Di dalam pesawat Garuda penerbangan pagi saya sempat berkenalan dengan Atar dan Hendra, yang merupakan peserta juga. Setiba di bandara, kami langsung menuju Solaria karena ada beberapa peserta yang telah tiba sehari sebelumnya. Setelah makan ringan, kami menuju meeting point sebenarnya di depan minimarket. Satu persatu peserta berdatangan menggunakan maskapai yang berbeda-beda. Setelah lengkap, bus jemputan kami menuju pelabuhan Labuan di Lombok Timur pun datang. Total ada lebih dari 30 orang peserta yang cukup untuk memenuhi satu bus pariwisata. Agenda pertama adalah makan siang, karena perjalanan ke Labuan lumayan jauh dari Praya. Setelah makan siang, kami melanjutkan perjalanan, tidak lupa untuk berhenti sebentar untuk shalat Jumat. Sekitar pukul 14:00 kami tiba di Pelabuhan dan langsung naik kapal Pinisi yang dibantu dengan mesin. Kapal LOB kami tidak dilengkapi dengan kamar atau dek, namun kami akan tidur di lantai menggunakan matras dan sebuah bantal serta selimut. Kapal ini dilengkapi dengan 2 kamar mandi merangkap WC dan stok air tawar yang terbatas. Air untuk MCK menggunakan air laut yang dipompa.

Bukit Kenawa
Destinasi pertama adalah Pulau Kenawa. Pulau yang didominasi oleh savana ini mirip bukit savana Bromo. Sayangnya saat itu sedang hujan lebat sehingga harus menunggu hujan reda dan arus laut melemah, sebab Kapal Pinisi kami tidak bisa merapat dan harus menggunakan sampan bermotor, jadi supaya tidak basah dan terbawa arus, maka hal ini perlu dilakukan. Akhirnya setelah menunggu selama kurang lebih 1 jam, hujan mereda dan kami mulai berpindah ke pulau menggunakan sampan. Karena baru selesai hujan, padang rumput masih basah dan jalan menuju puncak bukit sangat licin, dan juga nyamuk-nyamuk agas yang sangat mengganggu. Namun gangguan ini tidak mengurangi betapa indahnya Pulau Kenawa ini pada saat Sunset. Bayangan puncak Gunung Rinjani menjulang di atas awan dan menjadi siluet cahaya kuning kemerahan sunset hari itu. Meskipun masih tertutup mendung, namun gagahnya Puncak Rinjani masih menyisakan memori pendakian saya kesana hampir setahun yang lalu.. dialah puncak ketiga tertinggi di Indonesia.

Puncak Rinjani terlihat dari Pulau Kenawa
Ketika hari sudah gelap, kami kembali ke kapal untuk membersihkan diri sekaligus makan malam. Saat makan malam juga diadakan sesi kenalan agar lebih akrab. Maklum, kami baru bertatap muka kali pertama, meskipun saya baru tahu bahwa ternyata Atar dan saya pernah satu tempat kerja dulu di Batam. Makan malam dimasak di atas kapal, makanan sederhana namun gizi mencukupi untuk mengganti energi aktivitas kami hari itu. Akhirnya waktu tidur tiba. Ada satu ruangan yang dikhususkan untuk wanita, lalu dek bawah serta dek atas yang jadi satu dengan ruang kemudi kapal. Dek bawah lebih luas dan diperuntukkan untuk yang "berisik" sedangkan di dek atas untuk yang mencari ketenangan. Saya tentu saja mencari ketenangan hehehe. Dan matras, bantal, serta selimut pun dibagikan. Dan kami pun mulai memilih "lapak" kami masing2. Ya sempit2an lah, kaki ketemu kepala dan kepala ketemu kaki. Kalau mau lebih leluasa, banyak yang mengambil posisi di lorong meskipun agak mengganggu jalan. Sambil kami tidur, kapal bergerak menuju Pulau Moyo.

Pemandangan dari atas bukit Kenawa
Pagi keesokan harinya kami tiba di Pulau Moyo. Sarapan pun diberikan berupa pancake pisang yang dilumuri susu kental manis coklat. Sambil mempersiapkan sampan, kru kapal menantang kami untuk berenang menuju pantai. Saya menjadi orang pertama yang terjun. Sambil menggunakan alat snorkeling milik saya sendiri, saya bukan saja menuju pantai, namun juga mengitari karang-karang sekitar dan saya menemukan banyak sekali ikan kakap, kerapu dan ikan Lion Fish yang ukurannya cukup besar. Pun begitu, saya masih lebih cepat dari rombongan sampan yang baru tiba lama setelah saya sudah santai-santai di pantai. Rencananya kami akan trekking ke dalam pulau itu untuk menuju air terjun Sengalo. Trekking tidak jauh dan medannya juga tidak sulit, sehingga saya cukup memakai booties saya saja.

Lion fish di pantai perairan Pulau Moyo

Air terjun Sengalo berair tawar dan menciptakan kubangan-kubangan yang bisa dipakai berendam. Di sekitar air terjun saya menemukan seekor ular air dan bebatuan yang menjadi tempat berjemur kawanan kupu-kupu. Kata kru kapal, disini adalah tempat mandi air tawar terakhir yang tidak dijatah selama perjalanan kami, sehingga silakan dinikmati mandi air tawarnya.

Air terjun Sengalo di Pulau Moyo
Selesai di Pulau Moyo, kami menuju Pulau Satonda yang di tengahnya terdapat kawah vulkanik yang telah menjadi danau luas. Kami tidak terlalu lama di area danau nya, namun lebih banyak snorkeling di sekitar bibir pantai. Disini karangnya dangkal, jadi yang belum bisa snorkeling dengan benar, tolong tidak menginjak karang. Rata-rata kedalaman 1.5 meter hingga 8 meter, di luar itu bahaya arus yang kencang sehingga kru kapal memperingatkan kami untuk tidak terlalu jauh dari bibir pantai. Spesies koral dan anemon di sini cukup beragam, dan ikan-ikan seperti wrasse, sergeant mayor/damselfish, ikan kakatua, serta batfish juga ikan badut/clownfish besar-besar yang sangat protektif dengan rumah anemonnya, sehingga sangat mudah untuk memfotonya.

Freediving di Pulau Satonda

Di pantai Satonda terdapat kamar mandi bilas seadanya yang dikenakan tarif. Juga penjual minuman ringan dingin. Kami diingatkan agar tidak terlalu lama di Satonda mengingat malam nanti kami akan mengarungi laut yang berombak tinggi di Selat Sape hingga rencananya pada pagi hari tiba di Perairan Kepulauan Komodo.
-bersambung-

Gallery :