Travelling

Exploring Indonesian's magnificent places is my passion

Mountain Bike

The most exercise I did during my free time

Photography

To capture the beauty of the places I've visited

Culinary

The other reason why I love to go traveling

Engineering

Because big dreams never come so easy

Moto-Adventure

Graze the road and enjoy the adventure from each and every miles

Pusat Rehabilitasi Sang Primata Asli Kalimantan (Bag-1 BOS Samboja)


Pada September tahun ini, saya diberi kesempatan untuk mengunjungi pusat rehabilitasi primata terbesar di dunia, Borneo Orangutan Survival (BOS) Foundation atau biasa disebut BOSF. Dalam rangka team building di kantor saya jadi bisa melihat seperti apa proses re-introduksi orang utan ke alam liarnya. Pada kesempatan ini, saya juga bisa menginap satu malam di Samboja Lodge, penginapan bertema alami yang berada di kawasan tersebut. Tempat ini berada di daerah Samboja, Kalimantan Timur, koordinat -1.050005N, 116.988816E. Di tempat ini dua satwa dilindungi yaitu orang utan Kalimantan (Pongo pygmaeus morio) dan beruang madu/sun bear (Helarctos malayanus euryspilus) yang mengalami perlakuan tidak alami, misal diperjual belikan, dipelihara, kehilangan tempat tinggal akibat eksploitasi hutan, dsb, akan direhabilitasi ke perilaku alaminya sebelum dilepas di hutan lindung. Di tempat ini, saya jadi teringat pada orang utan jantan liar yang tidak sengaja saya temui saat bekerja di Kalimantan.



Orang utan yang sedang direhabilitasi di Semboja

Fasilitas di Samboja Lodge sangat sederhana, sesuai dengan konsep “back to nature” nya, sehingga jika mengharapkan kolam renang, gym, TV kabel, spa, dan fasilitas resort lainnya… lupakan!!. Di sini fasilitasnya sangat mumpuni untuk pengunjung yang memang berniat mendekatkan diri pada alam, secara harafiah. Area lobby lodge langsung menghadap ke pepohonan hutan, apalagi jika menggunakan suite di tower paling tinggi, memiliki daya pandang luas ke area rehabilitasi orang utan. Di malam hari, suara orang utan jantan yang memanggil betina nya atau hanya memberi tanda daerah kekuasaannya membuat melewati malam disini seperti berada di tengah-tengah belantara Kalimantan sesungguhnya. Yang unik adalah setiap kamar di lodge ini tidak dipisahkan dinding dengan luar ruangannya, melainkan jendela kaca besar, berasa seperti di aquarium, tapi tenang, ada tirai kalau takut dengan gelapnya suasana malam di luar sana hahahaha. Tiap kamar dilengkapi AC, namun karena listrik berasal dari genset yang pas-pasan dengan kapasitas listrik lodge, sehingga saat pengujung penuh seperti saat itu, ada beberapa kamar yang AC nya tidak bekerja maksimal. Namun jika ingin totalitas seperti berada di alam liar, buka saja jendelanya dan turunkan kelambu di tempat tidur, maka kita akan merasakan udara dan suhu yang sama dengan yang dirasakan oleh satwa di area ini, udara khas hutan tropis Kalimantan, panas dan lembap, hehehe. Mengenai kualitas air, kadang air disini sangat keruh dikarenakan air yang ada di sini adalah air tadah hujan. Lagipula di alamnya sendiri di Kalimantan memang susah mencari air bersih, karena lingkungan di sini adalah cenderung payau/rawa-rawa.


Bersantai disini sambil melihat pucuk pepohonan di bawah, Elang Suite Semboja Lodge
Pulau Orang utan bisa dilihat dari sini, tinggal menggunakan teropong atau lensa tele superzoom


Berjalan kaki sekitar 5 menit ke bawah bukit dari lodge, terdapat pulau-pulau orang utan dimana mereka disimulasikan berada di lingkungannya. Disebut pulau karena orang utan diisolir tidak dengan menggunakan kerangkeng, melainkan sungai-sungai sehingga lebih alami. Disini orang utan jantan dan betina dipisahkan agar tidak ada bayi orang utan lahir dari pusat rehabilitasi ini, namun tetap saja bisa kecolongan. Di pulau ini, petugas secara rutin mengawasi dan memberi makan mereka dengan buah-buahan segar. Di sekitar sini juga terdapat klinik hewan, dimana terdapat batas pengunjung tidak boleh mendekat dikhawatirkan terlular/menularkan penyakit. Di pulau-pulau ini orang utan bebas berkeliaran dan diberikan rintangan-rintangan buatan dari tali tambang, drum, dan ban bekas yang menyerupai rintangan alaminya. Mereka bergelantungan, memanjat tiang, masuk ke drum, menggoyang-goyang pohon, dll. Selain orang utan, disini juga terdapat rehabilitasi beruang madu atau sun bear.

Pulau-pulau diisolasi dari daratan sekitarnya dengan penyekat alami, yaitu sungai
Di sisi lainnya terdapat perahu untuk petugas mengawasi dan memberi makan Orang utan


Halang rintang buatan seperti drum, tali tambang, dan ban bekas disusun sedemikian rupa menyerupai medan pepohonan di alam liarnya
Karena diperlakukan secara alami, orang utan juga memperlihatkan sifat alaminya, yaitu bersiap membuat sarang pada malam harinya.


Lokasi rehabilitasi beruang madu terletak lebih jauh, sekitar 15 menit berjalan kaki. Disini pada malam hari beruang madu dikandangkan, dan pada siang hari dibiarkan berkeliaran bebas di lapangan yang dikelilingi pagar kawat. Di lapangan tersebut dibuat rintangan-rintangan seperti di alam liarnya. Pada saat memberi makan, pengunjung bisa ikut membantu petugas menyebarkan makanannya yang berupa sereal dicampur madu, serta buah-buahan seperti nanas, kelapa dan pepaya, di lapangan yang nanti akan ditempati beruang-beruang madu tersebut. Arahannya, makanan harus ditempatkan/disembunyikan di lokasi-lokasi yang berada di rintangan agar mereka berusaha mengambilnya, misalnya di lubang pohon, di atas batang pohon, dll. Tujuannya untuk mensimulasikan bahwa mereka mencari makan di alam liarnya. Setelah makanan disebar dan disembunyikan, semua petugas dan pengunjung harus keluar dari lapangan itu, dan sekat pintu kedua lapangan dibuka. Beruang-beruang madu pun berlarian pindah ke lapangan yang sudah disebar makanannya dan mulai mencari. Beruang-beruang madu sangat mengandalkan penciumannya dalam mencari makanan, sehingga makanan yang tadi disembunyikan dengan mudah ditemukan. Dengan cakarnya yang panjang dan tajam, mereka dengan mudah memanjat melewati rintangan dan juga mengorek daging kelapa dari tempurungnya. Sama seperti orang utan, beruang madu jantan dan betina selalu dipisahkan.


Area konservasi Beruang Madu/Sun bear
Makanan beruang madu mayoritas adalah buah-buahan, namun ada juga sereal, dan madu
Tingkah laku beruang madu disini beberapa masih terlalu akrab dengan manusia karena sebelumnya menjadi hewan peliharaan atau atraksi sirkus
Cara memberi makannya adalah menyebar makanan di rintangan area 2, dimana area 1 terdapat beruang madu yang diliarkan. Pada saat jam makan, beruang madu tersebut sudah menunggu untuk pindah area melalui pintu gerbang kecil.
Menyimpan makanan harus dibuat sulit sesuai kondisi mereka mencari makanannya di hutan
Termasuk mengasah kemampuan beruang madu menemukan madu di lubang pohon ini

Beberapa kilometer dari lodge terdapat kantor BOSF. Jalan menuju kesana berupa jalan paving block yang makin jauh ke tengah hutan. Di kantor ini terdapat pagoda atau menara pandang yang tingginya melebihi yang ada di lodge. Posisi kantor ini tepat di puncak bukit, dan dengan menara setinggi ini, kita dapat pandangan 360 derajat ke hutan konservasi ini dengan sangat luas. Tapi buat yang lagi galau jangan naik kesini ya.. Untuk bisa naik kesini tentu saja harus izin orang kantor disana dulu, karena akses masuknya berada di dalam gedung kantor.


Pemandangan 360 derajat dari menara pandang yang berbentuk seperti Pagoda di kantor BOSF Semboja

Teluk Peninsula Island Nusa Dua Bali

Nusa Dua Peninsula Island

Setiap kali berkunjung ke Pulau Bali, pasti di pikiran saya adalah gaya backpacker, menginap di Kuta, Gang Poppies, atau Legian. Pada kesempatan kali ini, saya mendapat kesempatan untuk menikmati sedikit sisi kemewahan dari Pulau Bali ini, yaitu saat konferensi internasional di Nusa Dua. Karena lokasi Konferensi kebetulan di Nusa Dua Convention Centre, saya sebagai delegasi kantor diperbolehkan untuk menginap di salah satu hotel di Nusa Dua, kawasan yang terkenal akan fasilitasnya yang mewah dan menjadi lokasi yang paling sering dipakai untuk berbulan madu. Namun  tetap saja tingkat fasilitasnya dibatasi oleh posisi saya yang masih staff hehehe, lumayan lah, mencari hotel bintang 4 di sana sangat mudah. Akhirnya pilihan jatuh di Hotel Mercure Nusa Dua. Lumayan jauh dari lokasi konferensi, namun lebih tenang dan jauh dari deru jalan raya. Mengenai harganya, ternyata tidak jauh berbeda dengan di Jakarta atau kota-kota besar lainnya, siapa sih yang menebarkan mitos harus mahal kalau di Nusa Dua? ya ternyata sih memang hotel ini di luar pagar Kawasan Resort Nusa Dua hahahaha pantas saja, yang penting masih dekat Nusa Dua.Teman-teman saya yang senasib masih selevel (masih staff) seperti saya menginap di Santika, dekat dengan jalan, minusnya suara lalu lalang kendaraan pasti terdengar dan tidak ada kolam renangnya. Yang lebih beruntung bisa menikmati hotel yang menjadi satu dengan tempat konferensi di Nusa Dua Convention Centre.

Elevated Pool Mercure Hotel Nusa Dua
Morning coffee di udara pagi Bali yang sejuk
Nyebur saudara-saudara?

Biar tinggal di hotel berbintang, tetap saja urat saraf backpacker saya tergelitik. Modal modus dengan resepsionis yang ternyata masuk giliran shift cowok (astaga! gagal modus), akhirnya dengan sedikit kena "mark up harga" kami bisa menyewa motor dari rental di dekat sini lewat jasa room boy. Ya lumayan juga karena saya tidak tahu sama sekali area sini, seakan daerah ini "haram" buat diinjak oleh backpacker (lebay). Karena SIM saya mati, saya dan teman sekantor menyewa satu motor saja untuk wara-wiri di Bali. Kali ini juga ternyata pengalaman pertamanya di Bali sehingga saya bisa menjadi navigator. Yang menarik, ada fasilitas hotel ini yang menarik, yaitu free shuttle menuju pantai Bali Peninsula Island di kawasan Resort elit Nusa Dua. Lumayan juga, menggunakan mobil travello, kami diantar bersama dua tamu wanita dari Korea. Sambil berusaha menerjemahkan maksud si duo Korea ini, kami menjelaskan ke sopir bahwa mereka mau minta dijemput jam 8 malam disini.. hellooo?? bagian mana dari kata shuttle yang ente tidak jelas? hahahaha. Lagipula jasa free shuttle terakhir jam 7 malam, jadi silakan cari transport sendiri kalau mau lebih malam dari itu.
Private beach Men! nyantai bebas
Gapura menuju taman Bali Peninsula Island
Patung Arjuna dan Kresna

Di Bali Peninsula Island Nusa Dua, konsep tempatnya mirip taman padang rumput kalau tidak mau dibilang mirip padang golf. Patung Tokoh Pewayangan Arjuna dan Kresna berdiri kokoh di tengah taman. Jika berjalan terus ke kanan, ada jalan masuk menuju Pura yang sayangnya terbatas untuk para penganut Hindu yang ingin melakukan peribadatan harus berbaju adat, selain itu tidak boleh masuk. Pura ini bernama Pura Dalem Bias Tugel. Pembicaraan dengan seorang gadis Bali yang selesai beribadat meletakkan sesajian di pinggiran pantai, katanya persembahan ini untuk Dewa Samudera, kalau tidak salah Dewa Baruna.

Puda Dalem Bias Tegel di Peninsula Island Nusa Dua Bali

Jika berjalan terus menyusuri jalan pelantar setapak, kita akan sampai di ujung karang yang langsung berbatasan dengan Samudera Indonesia. Di dekat situ ada lokasi halaman pelataran luas yang mengarah ke celah batu karang di bawahnya. Lokasi itu disebut Waterblow, dimana ombak samudera yang menghempas di karang sekitarnya, juga masuk ke celah ini yang fungsinya menjadi seperti corong yang sehingga pada ujung celah, energi gelombang laut difokuskan menghasilkan semburan yang seperti ledakan. Jika punya jantung lemah, sebaiknya tidak dekat-dekat area ini karena bunyi dentumannya cukup mengejutkan dan semburannya kadang cukup keras dan basah... ya iyalah air laut. Sayang saat itu laut sedang surut sehingga dentuman ombak hanya berupa cipratan.
Waterblow Peninsula Island

Selain ke Bali Peninsula Island, saya mengunjungi tempat favorit saya kalau ke Bali, yaitu foodcourt seafood tepi pantai di Jimbaran serta ngopi-ngopi sunset di sisi Pura Batu Bolong Pura Luhur Parahyangan Tanah Lot. Ah, andai konferensi seperti ini sering-sering diadakan di pulau ini.

Jimbaran seafood foodcourt
Salah satu menu ekonomis yang ditawarkan, paket seafood yang terjangkau, berisi ikan bakar, cumi, kepiting, scallops, udang, nasi, kentang, dan sayur plecing kangkung
Keramaian Pura Luhur Panataran Tanah Lot
Bukan ngiklan lho, tapi kebetulan kopi yang ada cuma itu hahaha

Pantai Batu Hiu dan Batu Karas Pangandaran

Setelah seharian melakukan body rafting di Citumang, kami memilih area Pantai Batu Karas sebagai tempat menginap dan beristirahat sebelum melakukan body rafting di Green Canyon. Pantai Batu Karas yang terletak di -7.749799N, 108.501869E dipilih karena lokasinya paling dekat dengan lokasi basecamp operator body rafting Green Canyon, bila dibandingkan jaraknya jika kita menginap di Pantai Pangandaran. Tujuannya agar kami mendapat istirahat yang cukup dan tidak terburu-buru. Jarak antara Pantai Batu Karas dan Green Canyon sangat dekat, namun karena jalannya kondisi jalannya kurang baik, waktu tempuh menjadi cukup terulur. Kabar baiknya, saya lihat sudah ada beberapa ruas jalan yang sedang diupgrade menjadi beton.

Keindahan pantai Legok Pari Batu Karas

Sebelum menuju ke Pantai Batu Karas tempat penginapan kami berada, sebelumnya kami menuju ke Pantai Batu Hiu. Pantai ini disebut Batu Hiu, bukan karena banyak hiu berkeliaran seperti di Afrika Selatan.. bukan!. Melainkan adanya batu karang di laut yang terkikis karena deburan ombak sehingga menyerupai punggung ikan hiu. Entah karena imajinasi saya kurang atau memang salah melihat batu mana yang dimaksud, saya tidak menemukan satu pun batu karang yang berbentuk punggung hiu tersebut. Mungkin juga karena proses abrasi akibat deburan ombak ini terus berlanjut, jadi sudah tidak berbentuk hiu lagi. Anyway, pantai ini cukup teduh karena dikelilingi oleh pohon-pohon pandan pantai yang tinggi dan lebat, bukan pohon kelapa seperti pantai pada umumnya. Posisinya yang berada di ketinggian dibandingkan laut sekitar membuat kita seolah-olah berada di Pantai Selatan Bali atau Pantai Kidul, tapi versi KW nya hehehe. Oh ya, pintu gerbang menuju kawasan pantai ini berupa mulut ikan hiu yang menganga, jadi kita seperti ditelan oleh hiu tersebut. Sayangnya keberadaan pengemis di dalam lorong gerbang itu cukup mengganggu, terutama bila ingin narsis di depan gerbang hiu tersebut. Di dekat kawasan Pantai Batu Hiu, terdapat penangkaran penyu yang dikelola LSM setempat. Disini telur penyu ditetaskan dan ditangkarkan agar cukup besar baru dilepas ke laut. Ada beberapa yang cacat sehingga meskipun sudah besar, tetap dipelihara disini. Sepanjang garis pantai yang langsung ke lautan Samudera Indonesia ini merupakan area pendaratan penyu untuk bertelur.

Paviliun di Pantai Batu Hiu
Selain kelapa, pohon pandan pantai mendominasi pantai ini
Tugu yang menandakan Pantai Batu Hiu
Kembali ke Penginapan kami di Batu Karas, Penginapan kami berada di sekitar pantai nelayan Batu Karas, bukan pantai wisatanya. Penginapan kami lebih disebut villa atau rumah sewa karena memang satu rumah 2 lantai yang disewakan termasuk kamar mandi, dapur, dan ruang tamu. Hal pertama yang ingin dilakukan setelah sampai di Batu Karas adalah melihat sunset di pantai wisatanya yang disebut Pantai Legok Pari. Posisi Pantainya agak nanggung sih, karena menghadap ke timur laut, sehingga matahari terbenam bukan di garis horizon laut, melainkan di daratan, itu pun harus melihatnya dari atas bukit karang di sisi sebelah timur pantai ini. Yang istimewa dari pantai ini adalah pantainya yang dangkal namun mendapat ombak yang cukup besar dari Samudera Indonesia yang diredam oleh sisi timur pantai ini. Katanya sih, pantai ini paling cocok untuk peselancar pemula dan menengah yang ingin sekedar bersenang-senang. Untuk peselancar pro dan pecandu adrenalin berlebih, rasanya lebih cocok kalau ke Pulau Mentawai atau G-Land. Tidak heran banyak penginapan disini yang konsepnya adalah hotel peselancar, misalnya Java Cove dan banyak penginapan di sekitar pantai wisata di sini. Karena temanya adalah selancar, jangan kaget kalau pantai ini banyak bule nya, mirip-mirip di Kuta Bali, dimana mereka wara-wiri sambil menenteng papan selancarnya.
Pantai yang dangkal, dan ombak yang besar, konstan, dan panjang, surganya para peselancar
Pengunjung yang datang ke Batu Karas kebanyakan adalah peselancar


Di dekat pantai wisata ini, terdapat areal parkir dimana pedagang-pedagang suvenir dilokalisasi disini. Selain itu restoran-restoran ala barat, meksiko, Indonesia, dan seafood berjejer sepanjang jalan raya di tepian pantainya. Berbeda dengan di Pantai Pangandaran yang kurang tertata dengan baik, disini sangat tertata dan pandangan kita ke Pantai tidak terhalang oleh bangunan kios-kios. Mengenai harga, jangan khawatir, kejadian memalukan seperti harga tembak atau pemerasan kedai-kedai makan seperti yang terkenal di Pantai Anyer tidak terjadi di sini, namun harganya sedikit lebih tinggi dibandingkan dengan di emperan kaki lima (namanya juga tempat wisata). Kalau malam tiba, sering ada peselancar-peselancar bule yang mengadakan api unggun di tepi pantai. Disana kita bisa ikut bergabung dan berkenalan.


Pemandangan sunrise di sisi pantai Nelayan Batu Karas
Saat pagi buta adalah saat yang tepat untuk melihat sunrise/matahari terbit. Lokasi paling baik untuk melihatnya adalah di Pantai Nelayan, bukan di Pantai Wisatanya. Disini kita bisa melihat aktivitas para nelayan di pagi hari, termasuk para nelayan penjerat lobster yang banyak terdapat di karang dangkal sekitar pantai nelayan ini. Karena alas an itulah, pantai ini kurang baik untuk dipakai berenang karena tertutupi karang tajam. Saya menyebutnya pantai nelayan, karena sisi pantai ini merupakan area parkir kapal nelayan. Pada pagi hari, istri-istri nelayan mengantarkan para suaminya untuk melaut. Para nelayan dan masyarakat sekitar ramai-ramai mendorong kapal nelayan ke laut sebelum menyalakan mesin kapal menerjang ombak pantai, lalu melaju ke laut hingga tidak kelihatan lagi di garis cakrawala. Saya dan beberapa pengunjung dan bule-bule yang sedang lari pagi kadang iseng membantu mendorong kapal yang memiliki cadik tersebut. Sisi positifnya, meskipun pantai nelayan, namun pantai ini jauh lebih bersih daripada pantai-pantai wisata di Ancol. Sisi kearifan masyarakat lokal terbukti disini bahwa pada akarnya Budaya Indonesia adalah hidup harmoni dengan alam. Mungkin juga karena di sekitar sini tidak ada kios-kios masyarakat sehingga sulit menemukan calon-calon sampah seperti kemasan minuman ringan dan makanan ringan. Bagi saya, lari pagi di sepanjang pantai nelayan ini merupakan momen yang berkesan. Saat matahari sudah mulai agak tinggi, kapal-kapal nelayan yang mencari ikan semalam mendarat ke pantai ini. Melihat hasil tangkapan salah satu kapal, kebanyakan adalah ikan layur (Trichiurus lepturus) ikan kesukaan saya. Ikan-ikan ini langsung ditampung oleh seseorang yang saya yakini sebagai juragan kapal tersebut dan transaksi dilakukan saat itu juga. Sangat disayangkan kenapa hasil laut seperti ini tidak dijual melalui pasar ikan (TPI).


Masyarakat gotong-royong mendorong kapal nelayan agar bisa dipacu ke tengah laut
Transaksi ikan langsung terjadi bahkan ketika kapal baru merapat ke pantai


Ketika matahari sudah meninggi saya kembali ke penginapan dan bersiap untuk body rafting di Green Canyon, sekaligus berkemas karena kami juga meninggalkan penginapan tersebut dan pulang ke Jakarta. Sebelum pulang ke Jakarta, pada sore harinya kami mampir ke kawasan konservasi hutan lindung Pangandaran. Dipandu oleh petugas konservasi disana, kami mengunjungi kawasan hutan, goa-goa yang memiliki latar sejarah, dan yang memiliki latar mistis. Di ujung kawasan ini ada padang penggembalaan rusa dan kijang dan pantai timur Pangandaran, tidak nyambung juga melihat sunset di Pantai Timur Pangandaran, harusnya di Pantai Barat Pangandaran. Disana ada Bapak-Bapak Nelayan menawari kami jasa sewa perahunya untuk melihat sunset dari Pantai Pasir Putih dan berkeliling ke area snorkeling (sudah kesorean Pak hahahaha). Sebenarnya untuk menjelajahi kawasan ini seluruhnya harus dengan persiapan yang matang dan dengan pemandu yang berpengalaman, karena jalan paving dan aspal sudah tidak ada lagi, melainkan benar-benar masuk ke hutan belantara. Mungkin mirip dengan ekspedisi belantara di Taman Nasional Ujung Kulon. Katanya di ujung kawasan ini ada air terjun yang langsung jatuh ke laut.



Pantai Timur Pangandaran dilihat dari sebuah mulut goa
Sebelum benar-benar pulang ke Jakarta dengan perjalanan yang panjang, niat saya mencari oleh-oleh ikan asin jambal roti akhirnya saya urungkan karena saya lihat ikan asin jambal roti yang dijual masih dalam keadaan basah dan beberapa digerayangi belatung!. Harus hati-hati saat membeli ikan disini. Sisi positifnya, pastinya ikan ini bebas formalin, lah belatung aja bisa hidup hahahaha.


Umbi bunga bangkai Raflessia arnoldii yang masih belum mekar ada di Cagar Alam Pangandaran

Body Rafting Sungai Citumang dan Green Canyon Pangandaran

Body Rafting adalah olahraga air yang prinsipnya seperti rafting/arung jeram namun tidak menggunakan rakit maupun dayung. Secara internasional, istilah yang dipakai secara umum adalah Canyoning atau Canyoneering, yang berasal dari kata Canyon yang artinya tebing sungai, yaitu cerukan yang terjadi akibat pengikisan sungai terus menerus sehingga menjadi dinding tebing. Canyoning adalah aktivitas outdoor yang meliputi trekking, panjat memanjat tebing, lompat/terjun ke air, rapelling (menuruni tebing/air terjun dengan tali), dan berenang, yang semuanya dilakukan melintasi badan sungai. Ya, benar, saya menyebut sungai, ini olahraga basah-basahan. Di Green Canyon atau Citumang sendiri aktivitas Canyoning hanya terbatas aktivitas sederhana, yaitu trekking, terjun dan berenang, tidak ada menuruni air terjun, sehingga masuk kategori Canyon walking/Gorge Walking.

Aktivitas canyoning atau populer disebut body rafting
Meskipun terdengar sederhana, kenyataannya tetap saja olahraga ini tetap masuk kategori olahraga ekstrim sehingga membutuhkan dasar ilmu dan teknik yang tepat. Oleh karena itu, sangat berbahaya jika melakukan olahraga ini sekedar ikut-ikutan saja, atau tanpa pemandu. Pemandu akan mengarahkan kita ke lokasi melompat yang aman, teknik hanyut, dan melewati jeram. Pemandu juga akan menjaga kita jika kita terperangkap arus pusaran bawah atau hanyut terbawa arus ke arah yang tidak dikehendaki. Penting juga bagi para pemandu untuk mengetahui teknik pertolongan pertama pada kecelakaan (P3K) dan teknik resusitasi jantung paru (RJP). Selain itu pengetahuan akan kondisi cuaca lokal seperti prediksi kapan terjadi banjir bandang, perlu diperhitungkan, serta jika terjebak di kondisi tersebut, bagaimana penyelamatannya. Lihat kan? ini bukan olahraga sekedar main basah-basahan saja.

Medan bebatuan cadas tajam dan licin adalah tantangan yang harus dilalui

Pemandangan goa seperti pintu gerbang ini bisa dijumpai saat body rafting di Green Canyon
Alat pelindung yang digunakan adalah helm, yang biasa digunakan untuk rafting maupun caving, jaket pelampung (bouyancy aid/PFD), sepatu khusus, serta pelindung siku dan lutut (dekker). Baju yang dipakai bisa baju tshirt dan celana pendek yang keduanya berbahan ringan dan tidak menyerap air. Selain karena berat jika menggunakan bahan menyerap air, bahan tersebut juga menghasilkan rasa dingin saat di sungai sehingga menjadi rawan hipotermia. Pakaian tersebut juga harus bisa menjaga serangan hewan sungai pengganggu seperti ikan candiru, lintah, ataupun serangga air yang dapat membuat gatal. Pakaian rashguard berlengan panjang dan celana renang ketat merupakan pilihan terbaik untuk olahraga ini, namun di Green Canyon atau Citumang, biasanya cukup membawa tshirt dan celana pendek. Mengenai sepatu khusus, sepatu ini mirip sendal sepatu Crocs, terbuat dari karet atau silikon namun dengan alas kaki yang outdoor (grip nya didesain untuk batu-batu sungai). Jangan sekali-kali mencoba menggunakan sendal gunung karena jari-jari kaki tidak terlindungi dari pinggiran tebing sungai yang tajam. Jangan juga mencoba menggunakan booties yang dipakai di karang-karang lautan karena alasnya tidak memiliki grip yang sesuai sehingga akan membuat tergelincir. Bahaya kan jika tergelincir saat akan meloncati batu-batu tebing?

Jeram yang ber-variasi, dari aliran tenang hingga kategori white-water siap untuk menguji nyali

Body rafting di Citumang dan Green Canyon memiliki perbedaan mencolok. Body Rafting di Citumang lebih santai, sehingga operator disana menjulukinya semi-body rafting (istilah apalagi ini?). Di Citumang, air berasal dari mata air bawah tanah yang keluar dari sebuah goa satu arah/buntu. Air ini mengalir melalui bebatuan kapur sehingga menghasilkan sungai  berwarna hijau tosca yang indah. Sungai ini mengalir hingga ke laut. Karena tidak terpengaruh sungai lainnya, tingkat beningnya air disini tidak terpengaruh oleh curah hujan, sehingga kadang menjadi alternatif jika di Green Canyon banjir atau sedang keruh akibat banjir di hulu. Debit air yang mengalir relatif kecil, jadi tidak usah takut terseret arus. Bahkan sungai ini sangat aman untuk anak-anak (dengan didampingi pemandu tentunya). Karena relatif aman, maka perlindungan cukup menggunakan jaket pelampung saja, bahkan dianjurkan tidak memakai sandal atau alas kaki apapun.

Alternatif body rafting, adalah menggunakan tube atau ban dalam sebagai perahu

Di Citumang, perjalanan diawali dari mulut goa mata air yang saya sebutkan tadi, kita berenang melawan arus hingga ke kedalaman dan kegelapan goa tempat mata air keluar. Lalu berenang hanyut mengikuti arus kembali ke mulut goa dan bersiap untuk loncatan khas Sungai Citumang. Titik loncatan berada di mulut goa setinggi hampir 9 meter lebih, dan untuk mencapainya harus memanjat akar-akar pohon yang menempel di dinding-dinding goa. Cara melompat aman yaitu dengan merapatkan tubuh dan melindungi rusuk (seperti cara melompat ke laut dari kapal saat darurat).

Mulut goa di Citumang

Air terjun Citumang sebagai titik lompat kedua
Selesai lompatan itu, berjalan sebentar mengikuti arus, sampai di air terjun setinggi 2 meter. Yap, disini kita harus melompat juga, namun lebih santai dan bisa dengan gaya apapun. Selain itu disini juga ada ayunan tarzan yang bisa dipakai mengayun lalu terjun ke sungai. Setelah air terjun pertama, kita hanyut mengikuti arus sungai dan tiba di air terjun kedua yang lebih pendek, sekitar 1.5 meter. Disini tempat yang bagus untuk berfoto dan melompat lagi. Setelah itu, hanyut mengikuti arus sungai yang santai kita akan menemukan akar yang bisa dipanjat serta tangga monyet, lalu berakhir di bendungan irigasi. Di bendungan ini, body rafting di sungai berakhir dan dilanjutkan dengan penutup yaitu meluncur di sepanjang saluran irigasi, dari bendungan tadi. Durasi body rafting disini sekitar 1-1.5 jam.

Air terjun kedua di Citumang
Suasana hijau rindang dari hutan yang menutupi jalur body rafting Citumang
Irrigation tunnel di Citumang sebagai penutup petualangan semi body rafting

Di Green Canyon, level kesulitan sangat berbeda dibandingkan dengan Citumang. Peralatan lengkap kami kenakan dan briefing, pemanasan, dan doa bersama pun tidak lupa dilakukan sebelum berangkat. Titik pemberangkatan atau pos sekretariat/basecamp berada di areal parkir Kawasan Wisata Green Canyon di Cukang Taneuh, Pangandaran. Normalnya, body rafting di Green Canyon memakan waktu 2.5 - 3 jam, bahkan bisa 4 jam. Kami diantar ke titik awal body rafting menggunakan mobil pick-up yang dimodifikasi agar ada pegangannya.

Titik lompat pertama body rafting dari depan Guha Bahu (Goa Bau), terjun ke air tenang
Medan white water di body rafting Green Canyon
Karena operator kami adalah Guha Bahu (goa bau), maka titik mulai kami adalah di goa bau. Dinamakan goa bau karena di dalam goa sedalam 105 meter ini dipenuhi oleh kelelawar dan di lantai goa nya banyak kotoran kelelawar yang membuat aroma bau (seperti amoniak). Dimulai dengan lompatan pertama setinggi 8 meter, lalu kami mengikuti arus hingga menemukan tebing lompatan kedua, yang juga setinggi 8 meter. Lalu mengikuti berbagai jeram dengan tingkat kesulitan berbeda-beda, dan akhirnya melewati tebing air terjun yang jatuh ke sungai. Lalu dilanjutkan dengan jeram-jeram berikutnya hingga mencapai titik istirahat yang berupa pinggiran sungai yang di atasnya adalah perkampungan penduduk. Penduduk setempat menjual kopi, teh, gorengan dan pop mie yang lumayan mengatasi rasa lapar. Tidak perlu takut tidak membawa uang tunai, karena pemandu membawanya dan kita tinggal membayarnya kembali saat di pos nanti.

Titik istirahat body rafting dimana dijual pop mie, kopi, teh dan gorengan
Nenek-nenek penjual makanan di titik istirahat body rafting Green Canyon, ditemani suaminya dan dua anaknya
Setelah istirahat, dilanjutkan dengan beberapa jeram hingga akhirnya sampai ke tebing-tebing dimana air terjun jatuh dari sepanjang pinggiran tebing, mirip dengan jalan menuju air terjun Madakaripura di Malang. Disini terdapat titik lompatan ketiga yang jatuh di celah sempit di antara bebatuan. Kita harus jatuh tepat disana jika tidak mau cedera akibat terkena batu sungai.

Air terjun yang memanjang sepanjang sisi tebing sungai mirip dengan air terjun sepanjang Madakaripura
Air terjun yang airnya segar dan katanya bisa membuat awet muda

Setelah terjun, kita harus siap mengangkat badan kita melayang di permukaan air karena langsung masuk ke jeram deras, lalu berenang ke tepian sebelah kanan. Jika gagal, maka kita akan terhisap ke jeram deras yang melalui bebatuan sempit. Dari tepian tersebut kami melipir tepian tebing dan melewati percikan mata air yang jatuh pada batuan yang subur ditumbuhi lumut. Air yang jatuh dari mata air ini sangat segar dan dipercaya siapa yang meminumnya akan awet muda.

Sisi tebing yang cukup sulit dilewati karena harus berusaha berenang tajam ke sisi kanan lalu ke sisi kiri
Saya mengambil foto ini sambil berpegangan ke sisi tebing dari arus yang memutar/turbulen
Dari tebing itu kami berpindah tepian dengan berenang melintas dan bersiap untuk lompatan terakhir. Titik lompatan terakhir dinamakan batu cendawan karena mirip dengan cendawan. Lompatan ini juga setinggi 8 meter.  Dari titik lompatan itu tinggal mengikuti arus sungai hingga ke titik akhir dimana kita akan dijemput dengan perahu motor ke pos akhir.
Mendekati titik akhir, sungai menjadi lebih lebar dan arus menjadi lebih tenang, saatnya bersantai
Mulai dari titik ini, pengunjung yang tidak mengambil paket body rafting bisa berenang di sungai ini karena airnya tenang
Di titik akhir, kita akan dijemput perahu motor ke basecamp body rafting