Travelling

Exploring Indonesian's magnificent places is my passion

Mountain Bike

The most exercise I did during my free time

Photography

To capture the beauty of the places I've visited

Culinary

The other reason why I love to go traveling

Engineering

Because big dreams never come so easy

Moto-Adventure

Graze the road and enjoy the adventure from each and every miles

Episode Blusukan Muara Badak, Bag.3 (Dermaga Jawi-Jawi)

Hari ini hari training "Corporate Induction" terakhir dimana saya seharusnya sudah istirahat lapangan (field break). Artinya, back-to-back saya sudah masuk kerja, sehingga setelah training ini saya tidak bisa bertugas ke kantor. Karena training selesai pukul 04:00 sore, maka sisa waktu ini saya manfaatkan untuk berolahraga (baca : gowes blusukan lagi/aji mumpung). Berhubung posisi matahari lebih ke timur, sehingga matahari terbenam lebih cepat (cari sendiri referensinya ya, soal inklinasi bumi). Artinya daya jelajah lebih terbatas dan karena saya gowes sendirian, saya tidak bisa blusukan jauh-jauh, seperti ke Marang Kayu atau Pantai Mutiara Pangempang.

Belajar dari keteledoran sebelumnya (bawa tripod tapi tidak bawa tripod mount nya), kali ini saya memiliki persiapan yang cukup dan tidak terburu-buru. Tujuan gowes saya? Dermaga Jawi-Jawi.

Dermaga ini sebenarnya lebih panjang dari ukurannya yang sekarang, dikarenakan ujung dermaga ini sudah roboh tenggelam. Tidak jelas sejak kapan dermaga ini dibangun, namun karena bahannya adalah kayu ulin (atau kayu Jawi-Jawi?) yang legendaris, dermaga ini awet, kecuali bagian ujung dermaganya hehe.

Setiap sore tempat ini banyak didatangi pemuda-pemudi sekitar untuk nongkrong-nongkrong atau balapan liar. Ada juga yang sengaja datang untuk memancing. Pada sore hari, jika langit cerah, pemandangan di sini sangat indah. Kawanan burung bangau blekok putih atau hitam terbang melintas. Vandalisme pun tidak terlalu terlihat di dermaga ini. 

Menurut saya, ini tempat paling mantap untuk relaksasi melepas penat setelah bekerja.

Duduk bersandar di dermaga kayu dan relaksasi pikiran
Dari dermaga ini, kiri dan kanan adalah selat
Lokasi tujuan bersepeda paling Favorit

Episode Blusukan Muara Badak, Bag.2 (Toko Lima)

Setelah sebelumnya mengulas Kecamatan Muara Badak, kali ini saya akan mengulas tujuan gowes saya berikutnya, yaitu Kampung Nelayan Toko Lima. Berhubung hari ini hari diabetes nasional, dan ada anjuran berolahraga, ya sekalian saja saya minta izin pulang cepat (alibi banget padahal tiap hari tetep gowes).
 
Kampung nelayan ini terkenal dengan hasil olahan lautnya, yaitu ikan asin. Sepanjang jalan terdapat tempat penjemuran ikan asin plus bau amisnya yang khas. Selain itu, daerah ini dikenal sebagai tempat membeli ikan segar dan udang-udangan, termasuk kepiting bakau. Mungkin saja restoran-restoran seafood di Bontang, Samarinda, dan Balikpapan membeli pasokan ikan segar dan udang-udangan dari sini. Selama saya mengamati aktivitas bongkar muat ikan dari kapal ketinting sore ini, yang terlihat hanya ikan bandeng dan ikan campur kecil-kecil untuk dibuat ikan asin.
 
Di perjalanan pulang saya melihat seorang bapak dan anaknya keluar dari rimbunnya bakau rawa dengan kakinya yang berlumpur. Di tangannya, terikat dengan rapi kepiting-kepiting bakau ukuran besar (kira-kira sekilo dua ekor). Kelihatannya baru saja panen jerat kepiting nih.
 
Daerah Toko Lima kemungkinan adalah kampung nelayan tertua di Muara Badak, karena disebut dari salah satu versi cerita asal muasal Muara Badak. Konon, seorang penjelajah Bugis keturunan Raja Bone, bernama Ismaila pada tahun 1806 datang menghadap ke Sultan Kerajaan Kutai Kartanegara untuk meminta sebidang tanah di pesisir. Sultan dengan senang hati memberikannya dan memintanya memilih sendiri daerah yang disukainya. Ismaila langsung jatuh hati pada daerah muara sungai Mahakam. Dengan menyusuri sungai tersebut ke hulu, sekitar 2 km dari muara, akhirnya sungai menjadi terlalu rapat untuk dilalui. Ismaila turun di tempat itu yang kini merupakan daerah Toko Lima. Perjalanan dilanjutkan ke daratan dan Ismaila akhirnya memilih dataran tidak jauh dari tempatnya berlabuh. Tempat tersebut banyak ditumbuhi tanaman tampura badak, sehingga akhirnya dinamai Muara Badak.
 
Asal mula nama Toko Lima sendiri saya tidak tahu. Mungkin dahulu hanya ada lima toko di daerah ini. Yang jelas, dermaga yang sudah rebah sebagian harus diperbaiki agar roda ekonomi desa ini tetap berjalan (update Maret 2014, dermaga ini sudah tenggelam, sisa satu bagian jetty dekat perkampungan yang biasanya untuk bongkar muat ikan)

Wilayah tepian sungai Toko Lima
Disclaimer : Sumber sama dengan cerita sebelumnya. Jika ada kekeliruan silakan komentar dengan bukti yang valid. Jika terbukti valid, penulis dengan senang hati akan merevisinya.

Episode Blusukan Muara Badak, Bag.1 (Desa Gas Alam)

Hari pahlawan. Hari ini diperingati sebagai hari pahlawan mengenang peristiwa 10 November 1945 dimana terjadi peristiwa heroik untuk mempertahankan kemerdekaan Indonesia yang memakan ribuan korban dari pejuang rakyat. Peringatan tadi pagi dilakukan dengan membunyikan klakson selama 30 detik, dilanjutkan dengan mengheningkan cipta selama 10 menit pada pukul 09.05 pagi. Secara pribadi, saya akan melakukan olahraga sepeda menyusuri perkampungan penduduk sekitar camp atau kerennya disebut blusukan (meskipun nggak nyambung banget dengan tema hari pahlawan sih).
 
Pada rangkaian tulisan kali ini, saya ingin memperkenalkan desa Muara Badak yang mencatatkan sejarah perkembangan LNG di Indonesia. Pada bagian pertama saya akan memulainya dari pusatnya, yaitu desa Gas Alam, Muara Badak.
 
Asal muasal desa Muara Badak sendiri bukan desa yang berdiri oleh penduduk asli Kalimantan, melainkan dari pulau seberang, Sulawesi Tenggara. Kalimantan Timur memang berbatasan langsung dengan Selat Makassar. Kalimantan Timur saat itu berada di bawah naungan kerajaan islam tertua di Indonesia, Kerajaan Kutai Kartanegara. Ada banyak versi mengenai asal-usul desa ini yang pernah saya dengar dari sesama pekerja, namun terdapat tiga versi cerita asal muasal desa ini. Selengkapnya bisa melihat ke sumber berikut.


Yang menjadi kesamaan dalam ketiga cerita tersebut adalah asal muasal nama Muara Badak. Meskipun mengandung nama badak, namun asal kata badak bukan berasal dari nama hewan bercula berkulit tebal itu, namun berasal dari tanaman tampura badak yang dulu terdapat di sekitar sini. Memakai nama muara karena daerah ini memang menjadi bagian dari anak-anak sungai dari Sungai Mahakam, sungai terpanjang di Indonesia, yang bermuara ke Selat Makassar.
 
Dari ketiga cerita tersebut, bisa ditarik kesamaan bahwa sekitar tahun 1800-an penjelajah Bugis (atau suku lainnya dari Sulawesi Selatan) datang menghadap Sultan Kerajaan Kutai Kartanegara di Tenggarong dan meminta restu atas sebidang tanah di daerah Muara yang kaya. Di tanah tersebut banyak tumbuh tanaman tampura badak, sehingga daerah tersebut pun akhirnya dinamakan Muara Badak.
 
Lalu pada sekitar masa penjajahan Belanda, sudah dilakukan eksplorasi besar-besaran di daerah ini dan beberapa tempat potensial penghasil minyak di Indonesia. Pada tahun 1968, berbekal data eksplorasi dari pemerintah Hindia Belanda, Pertamina yang saat itu masih memiliki fungsi regulasi (saat ini dipecah menjadi SKK Migas di bawah Kementrian ESDM), memberi kontrak bagi hasil kepada HUFFCO, perusahaan perminyakan dari Houston, Texas, untuk mengelola sebuah area seluas 631,000 hektar di daerah delta Sungai Mahakam, tepatnya di daerah cekungan Kutai, yang kini dikenal sebagai blok Sanga-Sanga. Saat itu gas bukan komoditi yang dicari, melainkan minyak. Namun hasil dari eksplorasi pertama di daerah Badak, yang ditemukan adalah gas alam dengan jumlah yang sangat besar. Daerah ini dinamakan Badak-1 yang merupakan asal-usul Lapangan Badak. Lokasi lainnya yang memiliki potensi yang sama adalah di Arun, Aceh Utara. Sayangnya, saat itu gas alam belum memiliki nilai jual ekonomis seperti minyak bumi. Lokasinya yang terpencil dan pasar yang belum jelas, menyebabkan sumber kekayaan alam ini hampir saja ditinggalkan. Namun atas usulan dari Direktur Utama Pertamina saat itu, Dr. Ibnu Sutowo, gas alam itu akan diolah menjadi gas alam cair. Industri gas alam cair pun saat itu belum booming di dunia, karena baru muncul sekitar 4-5 tahun sebelumnya. Akhirnya usulan ini disetujui oleh Presiden RI saat itu, yaitu Soeharto.
 
Berbekal kepercayaan diri yang mantap, Pertamina didukung oleh HUFFCO dan mitra usahanya, berhasil membuat kontrak penjualan gas alam cair pada 3 Desember 1973 untuk lima Industri dan pembangkit listrik di Jepang untuk kurun waktu 20 tahun yang dikenal sebagai kontrak 1973. Enam bulan berikutnya, yaitu Juni 1974, berdiri kilang pengolahan gas alam cair di pantai Bontang untuk memenuhi kontrak tersebut  yang dinamakan PT. Badak. Nama PT. Badak dipilih untuk mengabadikan nama lokasi sumur pertama yang menjadi tonggak sejarah berdirinya kilang ini.
 
Berkat keberadaan kekayaan alam ini, HUFFCO mulai merekrut penduduk lokal untuk menjadi pekerjanya, sehingga penduduk yang sebelumnya adalah petani dan nelayan menjadi lebih makmur. Seiring dengan bertumbuhnya fasilitas dan roda ekonomi di daerah Lapangan Badak, daerah ini mulai menjadi daya tarik penduduk sekitar untuk tinggal di sekitarnya. Desa yang dibentuk pertama kali dan terdekat dengan fasilitas camp HUFFCO Lapangan Badak diberi nama Desa Gas Alam. Di desa ini terdapat dua tugu yang menjadi simbolik kejayaan gas alam di daerah ini. Saat ini dibangun tugu baru di simpang 6, yaitu persimpangan yang menjadi pintu masuk utama menuju Lapangan Badak.
 
Tahun-tahun berikutnya, kegemilangan gas alam ini berlanjut dengan ditemukannya lapangan-lapangan lainnya, yaitu Nilam, Lempake, Semberah, Mutiara, Pamaguan, Beras, Lailawi, dll. Selain itu, di dekat area konsesi migas Blok Sanga-Sanga, ditemukan lagi blok baru, yaitu blok Mahakam yang terkenal hingga kini. Blok tersebut dioperasikan oleh perusahan Prancis, Total Indonesie. Pada masa kini, potensi blok Sanga-Sanga sudah tidak sebesar dahulu.  HUFFCO mengalihkan hak operasinya ke VICO yang sampai saat ini beroperasi. Sumber daya gas alam yang mulai menurun produksinya, menyebabkan eksplorasi bergeser ke area lepas pantai. Mulai muncul lapangan-lapangan baru di lepas pantai, seperti Gendalo-Gehem, dan lain-lain.
 
Siapa sangka, daerah yang dahulu hanya muara tepian yang menjadi kampung nelayan Bugis kini menjadi kota-kota Besar yang kita kenal sebagai Bontang, Samarinda, dan Balikpapan. Bahkan disebut-sebut sebagai Kabupaten terkaya di Indonesia.
 
Sumber : dari obrolan2 di warung-warung, blog komunitas fotografi Muara Badak yang disebutkan di atas, laporan KP (nama pengarangnya dirahasiakan, karena umumnya bagian ini copy paste, wkwkwk), dan penalaran penulis sendiri.
Disclaimer : kalau ada bagian di dalam ulasan ini yang kurang tepat, silakan dikomentari dengan melampirkan sumber yang valid. Jika terbukti valid, saya dengan senang hati merevisi perbaikan tersebut.
Tipikal perkampungan Muara Badak, rumah Panggung di atas rawa-rawa
Tugu Simpang Enam

Arbei Hutan Si Kecut Penyelamat Nyawa

Rubus reflexus ker. atau yang dikenal sebagai arbei hutan merupakan keluarga raspberry, biasa tumbuh di daerah pegunungan dengan ketinggian sampai dengan 2600 mdpl. Rasa yang manis asam kecut bisa menjadi pelepas dahaga. Namun jangan diambil berlebihan karena arbei hutan ini adalah pakan alami burung dan monyet yang tinggal di hutan itu.
Rubus reflexus ker. or popularly called forest berry, is a family of raspberry. It grew in mountainous environment with the altitude approx. 2600 asl. The fruit tastes sweet and a bit sour and effective for the cure of thirsty. But as the mountaineer's rule : don't take it excessively, because it is indeed natural food for birds and monkeys in the forest
Rubus reflexus ker. I found in Ijen
Rubus reflexus ker. I found in Semeru

Saya selalu mengambil beberapa butir setiap mendaki. Hanya untuk mengobati rasa kangen terhadap rasanya. Buah arbei ini saya temukan hampir di beberapa gunung yang sudah saya daki. Di Gunung Semeru, tanaman ini banyak terdapat di antara pos 2 hingga Ranu Kumbolo. Di Gunung Ijen, hampir sepanjang perjalanan menuju kawah terdapat tanaman ini. Di Gunung Rinjani, tanaman ini banyak di temui antara Pos 3 Senaru dan Plawangan Senaru.
I always took a few of them every hiking. It did that because I love how it tastes. I found them in almost every mounts I have hiked. In Mt. Semeru, this plant can be found between second post (Watu Rejeng, I recalled) to Ranu Kumbolo lake. In Mt. Ijen, this plant can be found in almost all the way up to the crater. In Mt. Rinjani, this plant can be found between the third post from Senaru, up until Plawangan Senaru
Rubus reflexus ker. I found in Rinjani

Tanaman ini termasuk jenis semak perdu, batang yang berambut dan memiliki duri di ketiak daun. Meskipun kecut tapi siapa sangka, mahasiswa Universitas Brawijaya Malang yang sempat hilang di Semeru tahun 2012 bisa bertahan hidup dengan memakan arbei hutan ini.
This plant is classified as bush, a hairy branches and equipped with thorns on its axillary buds. Rather of its sour taste, who knows that the lost Mt. Semeru hiker from Brawijaya University in 2012, survived by eating these fruits.
Spesies lain arbei hutan yang lebih manis namun meninggalkan kesan gatal di tenggorokan // Other species of forest berries that is more sweet but leave itchy sensation in the throat

Cabai Gendot, Oleh-Oleh Pedas Dari Dieng Dan Semeru

Resepsionis hotel seperti keheranan karena rombongan pendaki berdebu membawa tas carrier besar berbondong-bondong menuju lobby. "Pak, kami yang tadi telpon, yang pesan kamar untuk satu malam". Haha, kami baru reunian di Ranu Kumbolo. Sebagian dari kami memilih menggunakan kereta Matarmaja gerbong tambahan malam ini, sebagian memilih menggunakan pesawat terbang besok, sehingga istirahat transit di hotel ini.
Hotel receptionist felt peculiar because a group of dusty hikers carrying big backpack entering the lobby. I said 'Sir, we have called you for Hotel Reservation for tonight', then he understood. We were just going back from Mt. Semeru for reunion. Some of my colleague were taking tonight additional Matarmaja train to Jakarta, and the rest of us will spend the night at Malang, before going back to Jakarta via train, airlines, and bus
Yang unik dan membuat saya geli adalah kelakuan teman-teman saya ini. Beberapa teman menenteng seikat rangkaian buah berwarna merah terang ini, cabai gendot, yang secara internasional lebih dikenal sebagai cabai Habanero. Mereka tertarik untuk membawanya sebagai oleh-oleh karena bentuk dan warnanya yang keren mentereng, namun mereka tidak menyadari buah apa yang mereka bawa itu dan bahaya kadar capsaisin di dalamnya.
The funny thing was my friend's behavior. Some of them were just following me bought a bundle of a bright red colored fruit, Gendot pepper or internationally called Habanero pepper. They were interested for the bright red color of those fruits and they thought they were indeed edible fruit. Yes, they were edible, but not for direct consumption, because it tastes hot, even hotter than regular pepper. It has capcaicin content higher than regular pepper, even rawit pepper
Cabai gendot yang dijual masyarakat Tengger // Gendot pepper that offered by Tengger people

Capsaisin, atau senyawa pedas dari cabai, yang terdapat pada cabai ini memiliki nilai 100 ribu - 350 ribu pada skala Scoville (SHU). Nilai ini artinya minimal tiga kali lebih pedas daripada cabai rawit atau yang secara internasional disebut thai-chili pepper/Ceyenne, yang berkisar 50 ribu - 100 ribu skala Scoville. Dulu cabai ini sempat digadangkan sebagai cabai terpedas di dunia hingga kini menjadi ketiga terpedas di dunia setelah dikalahkan cabai red savina pepper dari California yang merupakan rekayasa genetik dari habanero sendiri, serta cabai setan, Bhut Jolokia dari India, yang juga rekayasa genetik persilangan habanero (Capsicum chinense) dan cabai rawit/ceyenne (Capsicum frutesences).
Capcaicin or hot component from pepper that is contained within this fruit has 100k-350k score of SHU (Scoville Heat Unit). This value means it is three times hotter than rawit pepper (thai-chili pepper/ceyenne) that only valued 50k-100k SHU, even its heat taste is famous in tabasco sauce. A few years ago, this fruit was awarded as the hottest pepper in the world, until now it has been beaten with genetically developed red savina pepper and bhut jolokia pepper. Red Savina is Californian trans-genetic between hottest habanero varieties, meanwhile Bhut Jolokia is Indian trans-genetic between the hottest habanero (Capsicum chinense) and ceyenne (Capsicum frutesences)
Saya sudah tahu sepak terjang cabai ini karena pernah membawanya sebagai oleh-oleh dari kunjungan saya ke Dieng. Namun kepolosan teman-teman saya, apalagi sampai ada yang mencoba mencicipi langsung sewaktu di hotel dengan satu gigitan besar, membuat saya kegelian melihat reaksinya. Namun, alasan sebenarnya saya membawa buah ini sebagai oleh-oleh adalah membandingkan rasa pedasnya dengan yang saya bawa dari Dieng. Lagipula saya pun baru tahu bahwa masyarakat Tengger juga membudidayakan cabai yang asalnya dari Semenanjung Yucatan di Amerika Selatan ini.
I already know these hot tastes fruits because I have met them before in Dieng. Because of curiosity, one of my friend took a huge bite of this fruit like eating an apple, then suffered by the heat. We laughed so hard of him. Well I too have my own curiosity. I wonder which will be hotter, habanero planted here in Semeru or habanero I had at home from Dieng. Even though I was surprised Tengger people cultivated this fruit that originally came from Yucatan Peninsula in Southern America
Cabai Gendot dan Carica dari dataran tinggi Dieng // Gendot pepper and Carica from Dieng Plateau

Lavender Oro-oro Ombo, Si Cantik Invasif yang Salah Dikenali

Langit biru cerah dan sedikit berawan menghiasi siang itu, termasuk matahari yang terik di atas ubun-ubun. Hari ini sebenarnya sudah masuk musim kemarau, bahkan sudah saya sadari sejak pendakian saya ke Gunung Rinjani dua bulan sebelumnya. Ajakan teman-teman semasa kuliah dulu untuk bermalam di Ranu Kumbolo saya setujui untuk ikut, karena selain reuni sejak  5 tahun setelah kelulusan,  kunjungan terakhir saya 2 tahun lalu ke Oro-oro Ombo TNBTS, saya tidak berjumpa dengan padang bunga Lavender yang ungu membentang akibat terbakar habis oleh kebakaran hutan saat itu. Meskipun sebenarnya kecil kemungkinan untuk bisa menjumpai padang Lavender di musim kemarau ini.
The clear blue sky and sunny day accompanied our journey that time. It was already drought season here, that I realized from the last hiking trip to Mt. Rinjani two months earlier. But my friends invitation for spending the holiday by camping at Ranu Kumbolo, is very attractive, because it also celebrating 5 years after our graduation from beloved university. The last visit to Oro-oro Ombo was 2 years ago, but I unfortunately didn't met with the famous lavender field because they were burned to ash during wildfire. I realized that it was very little chance to meet them in drought season
Bunga verbena yang sudah kering karena kemarau // Dried verbena during drought season

Tanaman Lavender yang dimaksud di tempat ini bukan Lavender sebenarnya yang bahasa latinnya Lavandula sp. , melainkan Verbena Brasiliensis vell. Bunga ini, dilihat dari namanya saja sudah kelihatan, kalau aslinya berasal dari sekitaran Brazil, di Amerika Selatan. Tanaman semak ini berbunga berwarna ungu, yang jika berada dalam kumpulan besar, mirip padang Lavender di Eropa pada umumnya. Tanaman ini bukan spesies alami Oro-oro Ombo melainkan spesies invasif/pendatang  yang bibitnya mungkin dengan sengaja atau tidak sengaja tersebar oleh penjelajah asing pada masa kolonialisme dahulu. Sumber di dunia maya menyebutkan kecurigaan bibit bunga ini dibawa oleh ahli Botani yang tinggal di Nongkojajar, Pasuruan, di masa itu, yang gemar mendatangkan tumbuhan-tumbuhan asing dari luar negeri. Namun hingga kini, awal penyebaran tanaman ini di Semeru dan sekitarnya masih menjadi tanda tanya. 
The lavender in this place actually was not the real lavender (lavandula sp.) instead it is the purple bush verbena flower (Verbena brasiliensis vell.). From the scientific name, we can conclude that it came from Brazil, Southern America. This plant has purple flowers, which in large group, it will produce a purple flower field that looked similar with Lavender field in European countries. It was not native plantation, instead it was invasive species that carried by colonialist a long time ago. Internet research for this matter, it said there was a suspicion that Dutch etno-botanist who was lived in Nongkojajar, Pasuruan, who had collection of flowers around the world, who purposely spread the plantation in Oro-oro Ombo. But until now, there still no evidences
Di Oro-oro Ombo, tanaman ini berbunga di musim hujan, dan ketika masuk musim kemarau, bunga-bunganya berguguran dengan sendirinya. Satu sumber menyebutkan bahwa masa mekarnya bunga tanaman  ini adalah Januari hingga Agustus setiap tahunnya.  Karena di musim hujan jalur pendakian ditutup, maka kesempatan menjumpainya adalah saat-saat jalur pendakian dibuka pertama kalinya di setiap tahunnya, yaitu di sekitar bulan Juni – Agustus. Beberapa teman jejaring sosial saya yang melakukan upacara Kemerdekaan 17 Agustus di Ranu Kumbolo, sempat mengabadikan lewat foto padang lavender yang ungu dan terbentang luas seluas 20 Ha di Oro-oro Ombo, atau seluas seperlima total padang rumput di Oro-oro Ombo. Sebenarnya inilah atribut spesial dari Oro-oro Ombo di jalur pendakian Semeru ini, karena padang rumput yang luas banyak terdapat di TNBTS, yaitu jalur Ayek-ayek, di bawah pertigaan Jemplang, dan Savana Bromo yang biasa dijuluki “Bukit Teletubbies”.
This plantation is blooming in rainy season, and when it comes to drought season, the flowers will fall. The most source said that the blooming period is January to August every year. Because the hiking track is closed during rainy season, the opportunity to meet this flower is when the hiking track is opened at the first time, usually June to August. My friend from social media upload a photo of their flag ceremony for Independence day in August in purple field, Oro-oro Ombo. The field is spread out 0.2 sq. km. or one fifth of whole Oro-oro Ombo savana. This field is a special attribute for Oro-oro Ombo savana, because there are few regular savana around this National Park, lets called it Ayek-Ayek tracking route, Jemplang junction, and Bromo Savana that popularly called Teletubbies hills
 Akhirnya, seperti yang saya duga, saya tidak menjumpai sang “karpet ungu” ini di Oro-oro Ombo, karena sudah masuk musim kemarau. Padang rumput Oro-oro Ombo sudah menguning kecoklatan, kering kerontang. Hanya sebagian saja yang masih tampak kehijauan di sekitar Cemoro Kandang. Ya, tak apalah, toh setidaknya saya secara fisik bertemu dengan tanaman ini dalam keadaan berdiri tegak dibandingkan menjadi abu kehitaman yang saya jumpai dulu.
At last, as expected, I didn't met with the famous purple field in Oro-oro Ombo. Drought season dried out all flowers and plants into dark browns field surrounded by dry savana. The green zone was up ahead to Cemoro Kandang. Well, at least I met this plant intact, not like my previous trip where I met them as black ashes
Padang ungu Oro-oro Ombo sudah menjadi kecoklatan // Oro-oro Ombo's Purple field has already become brownish

Mengenai Oro-oro Ombo
Oro-oro Ombo adalah dataran luas padang rumput di jalur pendakian Semeru, yaitu di antara Ranu Kumbolo dan Cemoro Kandang. Tepatnya, setelah kita mendaki Tanjakan Cinta Ranu Kumbolo, dengan menuruni bukit kita akan sampai di tempat ini.
About Oro-oro Ombo
Oro-oro Ombo is a large savana that is also a hiking route to Mt. Semeru, exactly between Ranu Kumbolo and Cemoro Kandang. After climb up fenomenal slope route Tanjakan Cinta, walking down the hill then we will arrive in here.
Menuju ke sana
Jalur yang sama yang diceritakan di Ranu Kumbolo
How to get there
The same route as told in Ranu Kumbolo story
Abu tersisa Oro-Oro Ombu setelah kebakaran tahun 2011 // Oro-oro Ombo ashes remain after wildfire 2011

Menunggu Pagi di Ranu Kumbolo

Pagi itu terasa sangat berbeda. Dingin yang menggigit meskipun sudah memakai balaclava, kaus kaki tebal dan sarung tangan, serta dua jaket di balik kantung tidur berbahan polar membuat saya harus terbangun berkali-kali. Ya, pagi itu saya menghabiskan malam di Ranu Kumbolo. Informasi suhu minimal harian -5° hingga -20° Celcius yang terdapat di papan informasi saya sadari bukan hanya bualan. Tenda gunung berkapasitas empat orang yang diisi tiga orang terasa lebih kosong. Saya lihat satu teman di tenda saya sudah tidak berada di kantung tidurnya, mungkin bergabung dengan rombongan lainnya yang terdengar sedang bernyanyi menggunakan speaker portable di sekitar api unggun, tidak jauh dari tenda kami. Satu teman saya masih pulas tertidur seakan-akan tidak ada bedanya tidur di ranjang di rumah dan di tenda alam terbuka. Jam tangan outdoor di lengan kiri sudah menunjukkan pukul 5 pagi. Saya segera mengambil perlengkapan kamera DSLR saya dan melakukan peregangan sekedar untuk menghilangkan rasa dingin. Rupanya saya tidak sendiri. Di pinggir danau sudah terpasang beberapa tripod sementara tuannya masih berkutat dengan kameranya masing-masing di dalam tenda. Beberapa membuat minuman hangat, beberapa terlihat duduk terpaku menunggu terbitnya matahari di ufuk timur. Saya dan beberapa teman memutuskan untuk bergerak memutari pinggiran danau untuk mencari titik pandang yang lebih bagus. Kabut yang tebal tidak mengurangi niat kami. Air danau yang tenang dan diselimuti asap kabut tipis membuat kami memilih jalan yang tidak harus memasukkan kaki kami ke dalam air danau
I had unusual feeling that morning. The frostbite even I had already wear balaclava, thick socks and gloves, and also two thick outdoor jacket inside a polar built sleeping bag, made me awake a few times. Yup, that morning I was in the mountain, in Ranu Kumbolo. I must admit that information of daily lowest temperature here from 23 to -4 deg Fahrenheit which was written on the information board, was true. The mountaineering tent with four persons capacity was only occupied by three persons feels spacier. I saw one of my friend had already leaving his sleeping bag and joined other group's camp fire, singing around using music that came from speaker built mp3 player. The other is still sleeping as there was no difference sleeping in outdoor here and his own bedroom. It was 5 am. shown by my outdoor wristwatch. I immediately prepared DSLR camera for acclimatization and did some stretching to warming up my body. I was not alone. Around the lakeside, a few tripod has been set while the owner still preparing the camera inside the tent. clever!. Some of them were drinking some hot tea or coffee and some of them is sitting next to their tripod waiting still until the sunrise. Yup, the sunrise view here is amazingly astonishing. Realized that the lakeside has already been occupied, me and some of my group decide to walk around to find better view. Thick mist was not our obstacle, but the cold water in the lake that covered by layer of fog made me avoid the path that has to put our feet inside the water
Super Slow Speed Ranu Kumbolo

Hari semakin terang, semburat orange di antara dua bukit adalah pertanda matahari akan segera muncul, atau sudah muncul. Cakrawala masih tertutup kabut tebal, sehingga sunrise tidak akan nampak jelas di bingkai cropped sensor DSLR saya. Di tempat ini, pohon tumbang yang berada sebagian di dalam danau dan permukaan danau yang seakan-akan berasap sepertinya akan menjadi komposisi yang bagus. Saat itu hanya kami berlima di tempat ini, kompleks perkemahan samar-samar terlihat karena terhalangi kabut. Saya siapkan tripod dan menyesuaikan posisi, tinggi, dan level terhadap view yang akan saya simpan di sensor kamera saya. Pengaturan dilakukan sesuai kondisi sekitar dan keluaran yang saya inginkan, komposisi dan fokus, lalu penghitung mundur 2 detik disiapkan dan saya menunggu momen yang tepat.... 
The sky became brighter, orange rays between two monumental hills was the sign that the sunrise will took place. The horizon is still covered by thick fog, the sign that the sunrise will not be successfully captured in my cropped sensor DSLR. I thought, the fallen log that partially drown inside the lake and the smokey lake will be a good composition. There were only five of us in here enjoying this amazing view and the surrounding is covered by thick fog. I set my tripod, adjust the height, position, and level and begin arrange composition. The 1-stop increments of 5-stops bracket setting is applied then manual focus of my wide angle lens to find the sharpest image. Then 2 sec delay shutter is pressed and voila...
Matahari terbit di Ranu Kumbolo // Sunrise at Ranu Kumbolo

Mengenai Ranu Kumbolo
Ranu Kumbolo adalah danau hasil proses vulkanik. Danau seluas 14 Ha ini terdapat di area Taman Nasional Bromo, Tengger, dan Semeru (TNBTS). Danau ini terdapat di jalur pendakian Gunung Semeru. Secara administrasi, danau ini terletak di antara Kabupaten Lumajang dan Malang di Jawa Timur. Tidak ada fasilitas penginapan, warung, ataupun pemukiman penduduk di sekitar sini, jadi persiapan fisik dan perbekalan harus dipersiapkan secara matang.  Namun perjalanan panjang tersebut akan terbayar dengan keindahan alam tiada duanya. 
About Ranu Kumbolo
Ranu Kumbolo was a volcanic crater that transform into lake. The 0.14 sq. km. lake is located at Bromo, Tengger, Semeru National Park. This lake is located in mount Semeru hiking track. This lake administratively located between Lumajang district and Malang in East Java province. There is no lodging facility, food stalls, or houses around here, so physical preparadness, equipment and logistic shall be prepared. The journey is quite exhausting, but the view and freshness will be a memorable experience.

Menuju ke sana
Untuk mencapai Ranu Kumbolo, bisa dicapai dari Lumajang, Malang atau Probolinggo. Perjalanan dari kota Malang, jika menggunakan kendaraan pribadi adalah melalui Stasiun Belimbing menuju ke jalan Laksamana Adisucipto melewati pertigaan ke Bandara Abdur Rahman Saleh terus menuju ke Tumpang. Kendaraan harus yang bertenaga besar atau memiliki gardan ganda, karena akses jalan kesana menanjak dan jalan yang tidak rata. Namun proyek perbaikan jalan oleh Pemerintah Malang di pertengahan Oktober 2013 mungkin akan mengurangi tantangan perjalanan kesana.  Dari pertigaan Tumpang perjalanan dilanjutkan ke kiri, menanjak ke arah Tengger hingga pertigaan Jemplang, lurus ke arah Ranu Pani. Jika dari Probolinggo, bergerak ke selatan menuju Kawasan Bromo, melewati jalan berpasir Bromo hingga pertigaan Jemplang, belok kiri ke arah Ranu Pani. Jika dari Lumajang, bergerak ke arah barat laut menuju Ranu Pani. Dari Ranu Pani, perjalanan ke Ranu Kumbolo dilanjutkan dengan berjalan kaki 5 – 6 jam melalui jalur pendakian normal menuju Gunung Semeru.
How to get there
To reach Ranu Kumbolo, we can start from Lumajang, Malang or Probolinggo, any of them to Ranu Pani. Generally, local hikers will take Malang as starting point because more convenient, more transportation alternatives, and more lodging and outdoor equipment provider/rent. Transportation alternatives are train to Malang Baru station, Buses to Arjosari Terminal, and Airplane to Abdur Rahman Saleh airport in Malang or Juanda Airport in Sidoarjo, continue by land transport to Malang. The road to Ranu Pane are damaged and have high slopes, so it will be better to rent 4WD car. The road upgrading project in October 2013 may improve the access to get there. The route will  be Malang - Tumpang - Jemplang - Ranu Pani. From Ranu Pani, the journey to Ranu Kumbolo will be continued by walking hilly track of about 8 miles that is approximately 5-6 hours on foot, depend on our pace.

Padang savana Ranu Kumbolo // Ranu Kumbolo's Savana

Ayo Bergerak, Mari Bersepeda

Undangan sudah disebar melalui email. Acara syukuran ulang tahun saya kali ini akan dilakukan di restaurant apung di Pantai Mutiara, Pangempang. Tapi bukan makan-makan biasa, karena syarat untuk ikut acara ini adalah bersepeda ke tempat tujuan, pulang pergi. Dari kantor, restoran ini berjarak sekitar 13km atau sekitar 30 menit buat saya dan 45 menit s/d 1 jam untuk rata-rata peserta lainnya yang tidak biasa bersepeda, nonstop, untuk sekali jalan. Pukul 05:00 sore, rombongan gelombang pertama, yaitu yang santai ataupun tidak biasa bersepeda, berangkat. Saya dan rombongan grup gowes kantor berangkat pukul 05:30 sore. Dengan kecepatan lumayan dan konstan, kami berhasil menyusul rombongan pertama di 5 km pertama. Karena saya yang punya hajat, saya minta izin untuk pisah dari rombongan dan pergi melaju duluan. Dalam waktu 30 menit saya sudah sampai dan memastikan jumlah hidangan yang diperlukan mencukupi.

Bersepeda menyambut hari batik nasional // Bike ride celebrating National Batik day

Invitations had been distributed via email. My birthday party that year will be held at Pantai Mutiara Restaurant, Pangempang. But it was not just ordinary birthday party, because the requirement to participate in this event was just by taking bike ride to the Restaurant from main field office. Nobody was allowed to brought a car, but some of them were still brought the car at the late afternoon. The distance is 13km one way, or about 45 minutes/1 hour ride for regular, and about 30 minutes for our field office's biker's club. At 05:00p.m. the first group went first then followed by biker's group 30 minutes later. We successfully get passed the first group at the first 5km, thed decided to ride in bigger group. I bid permission to ride ahead to coordinate with the restaurant owner. I reached the restaurant in 30 minutes and ensure all meals and drinks were perfectly served
Acara ulang tahun saya ala pesepeda // My birthday bash party ala biker style

Acara berlangsung lancar. Saat kepulangan, hari sudah gelap. Untuk keselamatan, gowesers yang membawa lampu bergerak bersama rombongan lainnya bersama-sama. Kami sampai kembali ke Camp sekitar pukup 09:00 malam. Seperti itulah sepotong cerita dari keseruan bersepeda di kantor. Menurut saya, dibandingkan sepeda statis, bersepeda di luar memiliki beberapa kelebihan.
The party went well. It was late when the party is finished.  For safety, bikers equipped with front light assisting the others. After a long dark bike trip, we managed to return to camp at 09:00 p.m. It was one of my story during bike at work. In my opinion, compared with static cycle, cycling outdoor has many advantages
Acara perpisahan anggota klub sepeda // Farewell party of one club member

1. Melepas stress
Beberapa sumber mengatakan bersepeda di luar memicu pelepasan hormon endorfin yaitu pemicu bahagia, yang menekan jumlah hormon serotonin, pemicu depresi. Karenanya selain olahraga, bersepeda memiliki bonus tambahan, yaitu rekreasi.
1. Reducing stress
Some literature emphasized that cycling outdoor triggers endorfin hormone release which contribute to happiness and comfort sense, in contrary reducing serotonin hormone, the one contribute to stress/depression. Because of that, cycling has additional benefit, which is recreation.
2. Melatih kekuatan dan stamina
Bersepeda selain sebagai olahraga kardio (melatih jantung), juga berfungsi sebagai low impact aerobik yang melatih sendi-sendi kaki dan kekuatan tulang punggung.
2. Increasing lower body strength and stamina
Bike ride beside of regarded as cardiac exercise, is also benefit as low impact aerobic exercise that trains leg ligaments and the flexibility of spinal bone.
Selain untuk olahraga, bersepada juga bersifat rekreasi dan meningkatkan silaturahmi // Despite of the advantage as sport, cycling also has recreation effect and develop good interpersonal relationship

3. Silaturahmi
Tinggal di lingkungan camp yang dijaga security 24 jam dan dilengkapi fasilitas lengkap bukan menjadi alasan untuk tidak bersosialisasi ke luar pagar. Sepulang bersepeda, kita bisa mampir ke kedai-kedai masyarakat, mengunjungi pasar malam di beberapa tempat berbeda, atau membeli suplai kebutuhan (seperti alat tulis, alat mandi, buah-buahan, dll) di warung/toko-toko masyarakat.
3. Socialize with locals
Stay in 24 hours secured camp with full facilities, is not a reason to spend all time inside the perimeter. I like to stop by at locals food stall, tasting local food, visiting night market, local fruit stalls, or just buying the personal stuff or stationary from local shop.
4. Bercengkrama dengan alam
Alam daerah operasi perusahaan tempat saya bekerja masih terbilang cukup asri meskipun sudah banyak penduduk disana-sini. Kawanan burung bangau kuntul putih menghiasi angkasa hampir setiap sore. Tidak seperti di Jakarta dimana riuh burung gereja yang terdengar, namun di sini kicau kutilang seakan seperti bukan burung bernilai tinggi seperti di Jakarta. Jika cuaca dan waktunya tepat, hewan asli Kalimantan Timur seperti Bekantan kadang-kadang terlihat bergelantungan di pepohonan bakau rawa-rawa. Biawak seukuran buaya kadang-kadang melintas gagah menyebrangi jalan.
4. Enjoy the native ecosystem
The ecosystem around my company camp is still pristine and unique, even the people begin to utilize lands for farmings and housings. The horde of white herons sighted on the sky every afternoon. The domestic birds that are often sighted is bulbuls, which is different from my hometown in Java, where the domestic birds are house sparrows. The price of bulbuls in Jakarta is relatively high in bird market, but here, bulbuls can be seen everywhere in the morning. If the weather and time is right, the proboscis monkeys can be sighted eating the leaves near the mangrove area. A mature monitor lizard are often sighted crossing the road.
Bangau kuntul Muara Badak // Wild herons at Muara Badak
Kebersamaan adalah tujuan utama, kesehatan dan kebugaran adalah bonus // Togetherness is the main purpose, health and fitness are the bonuses

5. Sinar matahari
Untuk yang pekerjaannya lebih banyak di kantor, menikmati matahari hanya bisa dirasakan ketika libur field break. Sinar matahari yang lembut dapat memberikan asupan vitamin D dan sekaligus relaksasi pikiran karena rasa panas lembutnya dan keindahan suasana sore, memberikan relaksasi tersendiri.
5. Sunlight
For the worker that mainly in the office, enjoying sunlight can be done during field break. The warm sunlight in the morning and afternoon brings nutritions vit.D and relaxation. The beauty of afternoon sunset is also refreshing the mind from one day working.

Panitia funbike


Jadi jelas, seluruh keunggulan ini secara langsung akan membuat kita lebih bugar secara fisik dan pikiran, dan akhirnya meningkatkan produktivitas dan kreativitas. Namun di balik keunggulan ini, terdapat resiko seperti kecelakaan tunggal atau kecelakaan lalu lintas serta kriminalitas. Akan tetapi resiko bisa diminimalkan dengan penerapan alat pelindung yang sesuai (helm, jersey berwarna cerah, kacamata, sepatu, dll) serta buddy system. Tidak boleh bersepeda blusukan sendiri tanpa partner.
We can conclude that all benefits behind bike at work program will make us  fit physically and mentally, which in turns it will increase creativity and productivity at work. But beware that behind these benefits, lies risk of traffic accident and crimes. Those risk can be minimized with proper protective bike wear (helmet, light colored jersey, safety glasses, shoes, etc). Don't forget buddy system to prevent crimes, where never bike outside alone
Test ride Polygon Xtrada IV

Pengibaran Sang Saka Merah Putih Di Puncak Rinjani

Wishlist 2013

Mungkin bagi kalian hal ini terdengar konyol, dimana setiap penghujung tahun, orang-orang biasanya menyusun target mereka pada tahun berikutnya, atau yang biasa disebut resolusi. Namun bagi saya, target yang saya tetapkan selain target-target yang sifatnya membangun karir/karakter, juga mengenai passion saya di dunia traveling, yaitu menetapkan target traveling tiap awal tahun. Saya menyebutnya wishlist, dimana salah satu wishlist saya di tahun 2013 ini adalah menapaki gunung tertinggi ketiga di Indonesia, yaitu Rinjani. Mulai sebelum bulan puasa tahun ini, saya sudah mencari-cari grup yang akan kesana. Mengapa saya mencari grup, tidak menginisiasi sendiri? karena saya masih awam di dunia pendakian ini. Keinginan saya adalah bergabung dengan rekan-rekan yang minimal sudah awam dalam ilmu pendakian gunung. Informasi yang saya kumpulkan tentu saja mengenai waktu terbaik kesana. Waktu terbaik kesana sudah pasti pada saat musim kemarau karena kita akan melewati padang savana Sembalun yang terkenal itu. Kelemahannya adalah pada musim kemarau, suhu di atas bisa menjadi titik terdingin sepanjang tahun. Selain itu kendala juga ada pada sumber air dimana beberapa mata air yang biasanya ada saat musim penghujan menjadi kering di musim kemarau. Jadilah dengan bekal pengalaman saya mendaki ke beberapa gunung lainnya dan waktu terbaik untuk kesana, maka saya mulai mencarinya di forum backpacker indonesia.
Gunung Rinjani
Ternyata untuk rentang waktu yang saya pilih tersebut banyak yang menawarkan perjalanan kesana, mulai dari shared cost sampai penyedia jasa travel. Kelihatannya rute kesana tidak terlalu ekstrim nih, dan saya mulai mencari-cari catatan perjalanan ke Rinjani dari blog dan teman-teman yang sudah kesana. Kesimpulannya memang jalan sudah sangat jelas serta penunjuk jalan juga sangat jelas sehingga kemungkinan tersesat keluar jalur sangat minimum. Poin terpenting lainnya adalah persayaratan kesana harus menggunakan guide/porter? Pusat perizinan Rinjani memang dilakukan dengan manajemen yang baik, karena Rinjani sendiri adalah tujuan wisata alam yang terkenal hingga para penggiat petualangan alam liar di dunia. Tidak heran jika banyak operator pendakian yang melayani wisatawan mancanegara. Dari surfing tersebut juga saya dapatkan perkiraan durasi kesana dengan agak santai, maka dengan pertimbangan ini saya mulai memilih-milih dari trip yang ditawarkan. Akhirnya saya memilih salah satu trip yang ada disana yang diinisiasi oleh Ase. Dari tagline-nya sendiri, "Ase Adventure", saya sudah menduga kalau ini adalah TO (travel organizer). Memang secara harga di atas rata-rata harga yang ditawarkan jika shared cost, namun kelihatannya sangat worthed dengan fasilitas yang ditawarkan. Meskipun saya agak anti dengan hal-hal yang berhubungan dengan TO saat traveling, namun kali ini urusannya nyawa, maka saya lebih menganggapnya sebagai operator pendakian. Dilihat dari track recordnya juga saya menjadi percaya jika orang ini spesialis di dunia pendakian, setidaknya dia berpengalaman di beberapa gunung di Indonesia, termasuk Rinjani.

Lalu saya mulai mengontak dia seperti prosedurnya, yaitu menanyakan kuota (masih ada), lalu mulai bertanya-tanya masalah fasilitas dan kondisi jalur yang akan dilalui. Intinya, jalur memang sudah dirintis dan terlihat jelas, masalahnya hanya jaraknya yang jauh, sehingga durasi pendakian adalah 4 hari 3 malam. Lalu setelah deal, maka saya membayar DP (tidak langsung lunas karena jaga-jaga jika tidak jadi akibat kuota kurang). Surat pemeriksaan dokter yang menerangkan kondisi kesehatan saya fit untuk aktivitas naik gunung pun saya persiapkan dari klinik di kantor, maka tinggal persiapan fisik yang harus saya tingkatkan selama bulan puasa. Lalu H-1 idul fitri, bertepatan saya cuti lapangan, saya merayakannya bersama keluarga di rumah dalam seminggu ke depan. Seminggu ke depannya lagi, saya akan berada dalam perjuangan saya menempuh tantangan yang akan dihadapi di jalur pendakian nanti. Oya, karena kebetulan waktu pendakian ini melewati tanggal 17 Agustus, maka kami akan merayakan hari kemerdekaan ini di perjalanan selama mendaki. Menurut itinerary, kami seharusnya akan merayakannya di Danau Segara Anakan, di hari kami turun ke Senaru. Hari-hari menjelang lebaran ini, dimana orang-orang lainnya sibuk membeli baju lebaran, saya malah mengalokasikan dana baju lebaran untuk mengupgrade jaket gunung saya menjadi yang windbreaker (kata teman saya yang pernah ke Rinjani, kalau-kalau kena badai saat summit attack, jaket windbreaker sangat menolong). Persiapan lainnya adalah kali ini saya mulai menggunakan geiter, karena jalur summit attack yang katanya berpasir mirip di Semeru.

Akhirnya persiapan mulai dimatangkan, dari sisi perlengkapan, saya mulai mempacking jaket windbreaker, sweater, celana panjang trekking, celana training, pakaian trekking, pakaian tidur, dalaman, sleeping bag, matras, peralatan makan, headlight, serta perlengkapan lainnya. Semua perlengkapan itu saya masukkan ke dalam tas carrier berkapasitas 45L+15L. Dalam kasus ini, perlengkapan beregu seperti tenda dan alat masak sudah disiapkan oleh Ase. Tidak lupa kamera dslr yang biasa saya bawa traveling, battery pack yang menampung 2 baterai Li-ion, serta battery pack adaptor untuk baterai alkali ukuran AA. Untuk perjalanan kali ini, saya hanya akan membawa kamera kit 18-55mm dan 50mm f1.8 karena alasan ukurannya yang ringkas dan ringan. Tidak lupa membawa tripod travel dan drybag in case terjadi hujan di tengah perjalanan. Untuk tas tambahan, saya membawa tas hydrobag untuk persiapan summit dimana perlengkapan darurat seperti obat-obatan pribadi, P3K, dan alat jahit akan disimpan. Tidak lupa, tiket yang sudah saya beli jauh-jauh hari mengantisipasi kenaikan harga tiket pesawat akibat arus balik. Di dalam tas, saya masukkan juga sendal gunung untuk keperluan di sekitar camp, serta bendera merah-putih yang terus saya bawa setiap mendaki. Juga kuitansi transfer DP dan pelunasan yang diminta oleh Ase.

Akhirnya hari yang dinantikan tiba. Karena mencari tiket termurah saat itu, saya akan menggunakan Garuda Indonesia direct flight ke Bandara Internasional Lombok dan kebetulan akan mendarat sore hari. Rekan seperjalanan saya mayoritas menggunakan Lion Air yang saat saya booking sudah kepalang mahal, mendarat siang hari. Serta beberapa teman lainnya yang menggunakan jalur darat dan ferry melalui pelabuhan Lembar di Lombok. Sesuai ittinerari, peserta akan ditunggu di meeting point bandara Lombok maksimal pukul 18:00 waktu setempat. Saya datang on time sesuai batas waktu yang ditentukan, yaitu pukul 18:00, dan saya jadi merasa tidak enak pada teman-teman saya yang sudah menunggu dari siang, apalagi yang melalui jalur darat sudah sampai disini dari tadi pagi. Sambil senyum-senyum diomelin yang lain, saya berkenalan dengan rekan-rekan pendakian dan panitia dari Ase, yaitu Widi dan Dani. Hari itu kami menggunakan dua mobil MPV untuk mengantarkan kami ke desa Sembalun, penginapan kami yang pertama. Sebenarnya bukan penginapan juga, melainkan rumah singgah yang disediakan oleh porter yang kami sewa. Benar, kami menggunakan porter dan perizinan pun sudah dilakukan sehari sebelumnya oleh timnya Ase. Kami tidak akan melalui pintu pos keberangkatan, melainkan melalui "jalur porter". Katanya jalur ini akan memotong jalur normal sekitar 1.5 jam perjalanan sehingga kami bisa berangkat agak siang.

Kembali ke rumah singgah di Sembalun, malam itu kami semua tidur di satu ruangan yang hanya ada 2 ranjang yang berdempetan. Ranjang itu akan digunakan oleh Mira dan Mawar (Nurvar?) serta panitia. Mira dan Mawar adalah dua wanita di pendakian kami kali ini. Mira dan Zico katanya akan melanjutkan ke Tambora setelah dari Rinjani, langsung!! (edan). Yang lainnya ada mas Asmui pembimbing rohani pendakian kami (kelihatan paling taat ibadahnya hehehe), mas Adam, Rico, duet Wahyu, dan orang Indonesia yang kelamaan di Jerman, si Sani. Kami semua tidur di lantai beralaskan tikar disini. Untung pada bawa sleeping bag kan? Di rumah ini juga tersedia colokan listrik yang langsung disambungkan dengan steker untuk membagi-bagi daya. Rata-rata mengisi ulang power bank, kalau saya hanya memastikan baterai kamera full. Selain itu, daya listrik disini sangat kecil, sehingga rumah kami sangat remang-remang (sepertinya semua rumah di sekitas sini begitu juga sih). Ajaibnya karena remang-remang, sampai hamparan bintang-bintang terlihat jelas di langit. Tapi tetap saja, polusi cahaya dari kota Lombok masih berpengaruh disini. Ya sudah, foto milkyway-nya saya pending nanti di atas.

Savana Panas Menyengat

Pagi itu, kami bangun sangat awal. Toilet yang sangat sederhana terletak di belakang kandang sapi dengan baunya yang khas di pagi hari. Suara angin gunung di kejauhan serta awan yang bergerak cepat memberi tanda bahwa kami sudah hampir sampai di atap langit. Namun cuaca di sini di pagi hari tidak seperti bayangan saya di gunung. Malah panas, bahkan pukul 07:00 pagi saja, sudah terang dan terik sekali. Di balai terlihat porter-porter yang kami sewa sudah berkumpul, lengkap dengan bahan makanan dan peralatan masak (termasuk ulekan batu coba, kenapa ngga bawa yang sudah diulek aja, masa bawa2 batu ke atas?). Mereka sama-sama sedang packing, bedanya mereka pakai pikulan. Beras, sayuran, telur, dan nanas madu Lombok yang terkenal itu, terhampar di sekitar pikulan mereka. Dari mereka, tidak satupun yang membawa sleeping bag atau jaket. Mereka hanya membawa kain sarung. Pagi itu kami melakukan briefing pendakian dan doa bersama. Hal-hal teknis dan non-teknis dibahas pagi itu serta jika membutuhkan break. Yang terpenting adalah buddy system, dimana jika ada teman yang tertinggal, harus ada yang menemani, minimal berdua, tidak boleh jalan sendiri. Selesai briefing, kami mencari stock air minum untuk bekal perjalanan di warung penduduk. Disinilah kegunaan hydrobag saya, saya isi 2L full plus satu botol ukuran tanggung untuk diisi dopping (hemav*ton jreng). Lalu kami siap berangkat. Titik awal di desa ini kurang lebih berada di 1,156 mdpl, kami mulai bergerak sekitar pukul 08:30. Porter mengisyaratkan agar kami jalan duluan, namun tidak sampai 1 km berjalan, mereka tiba-tiba menyusul dengan kecepatan tinggi dan meninggalkan kami. Katanya, sampai ketemu di Pos 2 (titik istirahat untuk makan siang).
Para porter Rinjani

Seperti yang sudah disebutkan sebelumnya, kami melalui jalan pintas ke Pos 1, dimana rutenya memasuki hutan. Awal perjalanan kami menyebrang sungai mati lalu ke padang pengembalaan sapi. Lalu kami mulai masuk ke dalam hutan yang banyak monyetnya. Tidak lama berjalan, akhirnya kami bertemu jalan utama, yaitu jalan makadam yang menuju padang savana Sembalun. Sangat cepat kami melalui jalan pintas tadi, sehingga kata porter, bisa menghemat waktu sampai 1.5 jam perjalanan. Jalan makadam ini hanya sebentar, batasnya adalah jembatan yang menyebrangi sungai mati. Setelah itu kami berjalan di jalan setapak dan bertemu jembatan lainnya, lalu Pos 1. Kami memutuskan beristirahat di Pos ini. Cuaca mulai terasa terik dan membakar. Keindahan savana ini sangat indah jika dilihat dari Pos yang teduh ini, namun sangat terasa menyiksa jika kita berjalan di luar sana. Tiba-tiba Ase datang sebagai sweeper dan meminta kami agar mengefisienkan waktu istirahat. Target kami hari itu adalah Pos 3, dimana kami akan menginap. Widi, Mira, Rico, duo Wahyu dan Zico langsung menggeber duluan, diikuti Asmui dan Sani, sedangkan saya dan Adam masih mengatur napas. Mawar dan Ase menjadi formasi paling belakang, mereka istirahat juga disini, juga Dani yang malah akrab dengan porter tim tetangga. Lalu akhirnya saya dan Adam meneruskan jalan di tengah terik matahari savana. Tidak lama berjalan kami mulai merasa kepayahan dan istirahat (lagi). Kali ini tiduran di rumput agar tidak menghalangi jalan. Adam menelpon anak dan istrinya, sedangkan saya menyelesaikan sudoku yang belum selesai sejak dimainkan di rumah singgah tadi malam. Tidak berapa lama Dani datang dan bergabung. Kami terus berjalan dan padang savana ini seakan tidak ada habisnya. Sampai suatu ketika, padang savana yang datar ini mulai dihiasi tanjakan demi tanjakan yang membuat kaki lemas. Dani dan Adam mulai bergerak cepat menyusul Asmui dan Sani, sedangkan saya memutuskan menunggu Ase dan Mawar. Hingga pada akhirnya, saya, Ase dan Mawar menjadi formasi belakang. Nah perjalanan saya, Mawar dan Ase ini yang saya rasa paling panjang, sebentar-sebentar istirahat, sampai kami memutuskan untuk tidur siang 30 menit saat bertemu pohon yang rindang. Apalagi ada payungnya Mawar dan payungnya Ase, mantap... Terik yang menyengat seketika berubah ketika kabut turun, udara mulai terasa dingin, tapi badan yang bergerak terus malah terasa panas. Kami berjalan terus dengan porsi jalan yang terus mendaki meskipun tidak terjal-terjal amat. Pemandangan ke belakang sangat indah, bahkan laut Lombok pun terlihat dengan jelas dari sini. Bekal paling optimal disini adalah nanas madu tadi, sayangnya dibawa porter melaju ke pos 2. Tidak berapa lama kami sampai di Pos 2. Disini saya, Ase, dan Mawar datang paling belakang. Porter sudah mulai memasak, bahkan Mira dkk sudah asyik selonjoran di atas fly sheet.
Di tengah perjalanan melewati savana Sembalun, titik awal pendakian terlihat di bawah kaki bukit di latar belakang
Saya lihat sudah jam 15:00, kita kebablasan. Tapi tinggal 1 pos lagi (anggapannya) sebelum berkemah. Hari-hari itu memang sedang musim pendakian sehingga pos 2 dijadikan tempat istirahat makan siang massal di atas jembatan. Dari menu makanannya terlihat jelas perbedaan porter full-service dengan porter barang yang kami sewa ini. Di layanan full-service, turis mancanegara itu disuguhi makanan pembuka berupa snack dan cola, lalu makan besar berupa nasi sayur dan lauk, lalu penutup buah-buahan segar yang melimpah (ada harga, ada barang ya). Saya mengamati turis mancanegara itu tidak memakan bonggol tengah nanas yang keras (ini masukan ide buat saya untuk mendapatkan buah di tengah jalan nanti). Menu makanan kami? nasi goreng plus kerupuk serta minum teh tawar hangat. Lumayan. Menu buah belum dikeluarkan dulu, katanya buat makan malam. Selesai makan kami bersiap-siap. Porter menyarankan kami berjalan duluan sementara mereka berkemas.
Turis asing menikmati paket full service dari operator pendakian

Makan siang kami di Pos 2
Mulai sekarang cuaca panas sudah digantikan oleh padang rumput berkabut. Tanjakan mulai konsisten, tiada ampun. Air minum yang kami isi ulang di pos 2 makin cepat habis. Panjang sekali perjalanan itu sampai jalur berubah menjadi diselingi banyak pohon-pohon tanggung dan yang terburuk adalah sinyal menghilang. Namun di suatu titik yang ada sungai mati dan ada jembatannya, sinyal tiba-tiba ada lagi. Oya, untuk menghemat baterai handphone, pada saat tidak ada sinyal, lebih baik diset ke airplane mode, jika masih digunakan sebagai pemutar musik. Jika tidak digunakan, lebih baik dimatikan saja. Di jembatan besi ini, sinyal full bar. Kami memutuskan beristirahat di situ sambil menelpon kekasih tercinta, kecuali saya yang malah main game "deer hunter". Selesai istirahat, hari sudah mulai petang dan kami akhirnya melewati sungai mati besar yang berbatu-batu besar. Di situlah kami akan berkemah, malah porter yang duluan sampai sudah mendirikan tendanya dan mulai memasak makan malam. Katanya kalau telat sedikit saja, kami tidak akan kebagian tempat disini. Saya tanya Ase, bukannya rencananya kemah di Pos 3?, Ase menunjuk bangunan yang sudah hampir rubuh di atas jalur yang akan kami lewati nanti dan yak,,, itulah pos 3, ada di posisi tanjakan. Jadi maksudnya berkemah di pos 3 ya berarti disini.
Makan malam kami di Pos 3

Mulailah pembagian tenda. Karena wanita cuma dua dan kata Ase harus dipisah, maka Mawar dan Mira menempati satu tenda dome kapasitas 4, sisanya selain Adam dan saya terbagi di 2 tenda dome kapasitas 4, porter punya 2 tenda pramuka bawaan mereka sendiri, sedangkan saya dan Adam ditunjuk menempati tenda bivak kapasitas pas 2 orang langsing. Pernah lihat tenda bivak? tenda yang bentuknya seperti sleeping bag, alias tidak ada ruang untuk duduk, hanya didesain untuk tiduran saja. Mana fisik saya dan Adam adalah yang paling XL di antara rombongan. Ya saya dan Adam protes, lalu setelah musyawarah, yang perempuan tidak keberatan tidur setenda dengan laki-laki, sehingga Sani dan Zico ikut di tenda wanita, Ase pindah ke dome satunya sedangkan widi mengisi tenda bivak sendiri... nah kan? sesuai dengan kapasitasnya masing-masing. Saya, Adam, dan Dani satu tenda dome yang ditinggalkan. Disini kami bermalam di sungai mati yang besar. Sebenarnya sangat berbahaya mendirikan tenda di sungai mati, karena jika curah hujan tinggi, kami bisa tersapu banjir. Sumber air berada di jalur yang tadi kami lewati, tepatnya di pos 2 bayangan (yang ada fasilitas toiletnya tapi rusak). Malam itu kami makan lauk ayam dan sayuran, serta buah nanas yang tidak jadi dipotong tadi siang. Malamnya cuaca disini dingin, mungkin karena kemarau. Namun karena kami berada di cekungan sungai, angin dingin tidak menerpa tenda kami. Di tengah cuaca yang dingin dan suasana yang gelap, saya mencoba mengambil gambar milky way. Dengan bantuan google sky map, saya berhasil menemukan posisi milky way dan mengarahkan lensa kit saya dan hasilnya...mengecewakan. Bukaan lensa kurang lebar, oleh karena itu saya menggunakan lensa 50mm dan mengeset bukaan di f2.8, dan pengaturan manual, hasilnya... dapat.. milkyway berhasil saya dapatkan, namun karena menggunakan panjang fokal 50mm atau 80mm di full frame, maka sudut pandangnya sempit. Yaah, lumayan lah. Malam itu kami istirahat, dan saya baru tahu kalau Mira mengalami keseleo di kaki tadi... ngebut mulu sih...
Milky way Rinjani

Jangan Menyerah, Mawar

Hari kedua pendakian, pagi itu setelah panggilan alam, kami tuntaskan, lalu sarapan dan bersiap ke Plawangan Sembalun. Briefing pagi ini kami diberitahu agar menyiapkan mental karena jalur setelah pos 3 adalah tanjakan tiada henti bahkan disebut sebagai bukit penyesalan. Jika kita berhasil mencapai puncak suatu bukit, ada bukit lainnya lagi yang harus kita lewati. Pagi itu, urutannya sedikit diubah, dimana saya dimajukan ke posisi tengah, sedangkan Mira di posisi belakang, jaga-jaga jika kakinya keseleo lagi. Hanya sweeper yang membawa obat-obatan dan P3K tim, padahal seharusnya masing-masing juga membawanya (seperti saya). Namun Mira malah berjalan melaju kembali dan akhirnya seleksi alam membuat formasi seperti kemarin lagi, kali ini ditambah Adam sehingga saya, Adam, Ase dan Mawar menjadi paling belakang. Namun di tengah-tengah, Adam melaju kencang dan menyusul Widi.

Sekarang tinggal saya, Ase dan Mawar. Udara mulai kembali cerah alias terik. Trik hari kemarin saya terapkan hari ini, dimana saya mengikuti rombongan turis mancanegara yang sedang istirahat menikmati buah nanas yang disediakan porter, namun sebelum bonggol nanas dibuang, saya minta dulu dan akhirnya diberikan.. Lumayan untuk obat haus dan pusing. Sambil berjalan dan menikmati bonggol nanas, saya tidak menyadari kalau saya malah bergabung dengan rombongan pendaki lainnya. Mana Ase dan Mawar? rupanya mereka berhenti di belakang karena Mawar menangis dan menyerah. Waduh, gawat... Di ujung tanjakan saya tunggu mereka berdua namun kok tidak muncul-muncul, malah sudah masuk jam makan siang. Sambil menunggu badan lama-lama terasa dingin jika tidak digerakan. Disini terasa berbeda dengan di bawah, dimana meskipun terik, namun udara terasa dingin.. inilah pegunungan cuy.
Jalur menuju Plawangan Sembalun

Nah mereka muncul, terlihat Ase berusaha memapah Mawar sambil membawa ranselnya. Saya inisiatif ke bawah dan mengambil ranselnya dan menunggu mereka di ujung tanjakan. Di puncak bukit ini, karena lumayan teduh saya mengusulkan untuk membuat makan siang darurat. Rencananya makan siang disediakan di atas (Plawangan Sembalun), namun ini sudah jam 14:00 kami belum makan. Untung Ase bawa macaroni instant, ya sudah kami makan makaroni saja. Menggelar flysheet dan memasak air di trangia, kami menyeduh makaroni itu sematang-nya. Sehabis makan siang "bayangan", kami melanjutkan dan Mawar kembali mulai menangis. Saya mengusulkan agar mereka jalan pelan-pelan dan saya melaju ke atas sendiri untuk mencari pertolongan. Di tengah jalan, saya kehabisan air minum dan mulai meminta-minta air minum lebihan pendaki lainnya yang beristirahat. Mereka memberikannya dan saya bisa melanjutkan lagi. Di tanjakan terakhir sebelum Plawangan Sembalun, saya bertemu Dani yang turun sambil membawa 2 botol air karena khawatir kami belum sampai. Perjanjiannya tadi di Pos 3, jika belum sampai Plawangan Sembalun di atas pukul 15:00, tim yang sudah sampai harus menjemput turun. Saya lihat jam dan oh iya, sudah jam 15:00. Saya informasikan saja posisi mereka terakhir dan meminta sedikit air. Di luar dugaan saya malah diberi air sebotol 1.5L fresh dari mata air pegunungan Plawangan Sembalun. Rezeki ini saya bagi-bagi dengan pendaki yang tadi memberi saya air dan yang sekedar lewat karena airnya sangat dingin dan sedikit beraroma pandan. Lalu saya tiba di titik Plawangan Sembalun 2,700 mdpl. Dari sini saya berbelok ke kiri mengikuti pinggiran jurang menuju area perkemahan. Saya tidak tahu posisi kemah rekan-rekan saya karena sinyal mati hidup disini. Saya terus berjalan akhirnya ditegur oleh porter yang mengenali saya. Akhirnya saya sampai dan makan siang yang sudah dingin menanti saya. Menu makan siangnya seperti kemarin, nasi goreng pakai kerupuk kali ini tidak pakai kecap. Yang paling mengobati lelah adalah teh manis panasnya yang asoy.. rekan-rekan yang lain sudah makan siang dan sekarang sedang tidur siang. Selesai saya makan siang (beneran), Ase, Mawar dan Dani datang. Dani membawa carrier Mawar sedangkan Ase memapah Mawar. Siang itu kami mengisi ulang perbekalan air kami untuk summit attack.
Area camp Plawangan Sembalun, jalur ke puncak terlihat di belakang tertutup oleh awan
Setelah mandi tissue basah dan mengganti baju trekking dengan baju bersih/baju tidur, saya melihat pemadangan danau Segara Anak dari atas sini dan sangat indah mempesona. Gulungan-gulungan awan/kabut yang mengalir deras di bawah kaki saya menunjukkan kalau saya seolah-olah sudah berada di atas langit. Matahari terbenam pun memberi warna yang memanjakan mata ke arah danau Segara Anak. Sore itu Ase menginstruksikan agar kami cepat tidur jika berencana summit attack. Kami akan dibangunkan pukul 01:00 dini hari dan perjalanan dimulai Pukul 02:00. Pembagian garis depan, tengah dan belakang disepakati malam itu. Setelah makan malam, lalu kami tidur.

Full team di Plawangan Sembalun
Meraih Puncak Anjani


Malam itu porter sudah menyiapkan roti bakar dan teh manis hangat untuk sarapan. Kami makan untuk persiapan stamina menjajal Summit. Disini kami menanyakan Mira dan Mawar apakah akan ikut summit? Mira dengan tegas menyatakan ikut, bahkan ingin di garis depan, sedangkan Mawar masih ragu-ragu. Setelah menyadari semua anggota tim ikut, Mawar yang tidak mau sendirian di camp memutuskan ikut juga. Kami menunjuknya di barisan belakang. Saya dan Adam ditunjuk di barisan tengah bersama Dani, sedangkan Widi di depan. Ase di Belakang. Awalnya semua sesuai rencana, namun begitu mulai meniti pinggiran kawah, saya dan Adam terseok-seok sehingga menjadi barisan belakang. Namun tidak perlu khawatir karena jalur summit attack malam itu sangat ramai, bahkan sudah ada yang hampir mencapai puncak di malam gelap gulita ini, terlihat dari kerlap-kerlip cahaya headlight di depan. Tanpa disangka cuaca menjadi berangin dan suhu udara anjlok. Kami mulai kedinginan. Disini tidak ada batuan atau pohon untuk berlindung dari angin. Meskipun ada, langsung menjadi rebutan orang-orang meskipun harus tiduran di pasir. Saya, Mawar, dan beberapa anggota pendaki lain bertaruh nyawa dengan masuk ke cerukan batu di tebing kawah yang mengarah ke dalam danau. Efektif, di sini angin tidak terasa, namun suhu dingin tetap menyerang. Karena kami duduk diam tidak bergerak, kami mulai merasakan dingin tersebut. Untungnya Adam dan Ase yang memanggil-manggil nama saya dan Mawar, mulai terdengar. Saya menyahut dan mengajak mereka ke tempat perlindungan angin yang sebenarnya tebing jurang. Jadilah kami berempat duduk di pinggiran jurang itu sambil menyeruput air panas yang dibawa di termosnya Ase. Hamparan bintang sangat jelas di depan kami tanpa terhalang polusi cahaya maupun awan, sesekali diselingi adanya bintang jatuh. Kami memutuskan menunggu disini sampai agak terang baru lanjut jalan. Menjelang subuh, angin berhenti berhembus dan udara mulai terasa relatif hangat (tidak sedingin tadi pagi, tapi tetap membuat menggigil). Kondisi ini membuat saya bersemangat dan berniat mengejar ketertinggalan kami dengan kelompok di depan.

Di tengah jalan, ketika matahari mulai terbit, saya akhirnya melihat dari jauh betapa berbahayanya tempat istirahat kami tadi pagi. Gunung Agung terlihat di kejauhan, begitupun lautan. Saya besemangat untuk naik dan tidak berapa lama kami berpapasan dengan kelompok garis depan... yang sedang turun gunung. Mereka kecewa karena tiba terlalu cepat saat hari masih gelap sedangkan antrian di belakang meminta mereka turun. Jadi mereka tiba di puncak saat sekeliling masih gelap? kasihan, hehehe... Tidak begitu lama saya bertemu rombongan tengah... sedang turun gunung juga, katanya mereka tiba di atas sewaktu matahari mulai terbit. Beruntungnya mereka menyaksikan sunrise sempurna pagi itu. Sedangkan saya, pukul 06:30 masih berkutat dengan tanjakan pasir yang mulai lepas, naik tiga turun dua langkah, dst. Pasir yang padat tadi malam mulai beranjak menggembur akibat sudah mulai terang dan sudah dilewati pendaki-pendaki lainnya. Karena turunnya hanya dua langkah, maka saya memutuskan untuk melakukan langkah besar dan banyak sekaligus sebelum berhenti dan itu berhasil. Beberapa ratus meter terakhir dari puncak adalah jalan yang sangat menantang, karena dengan lebar yang kira-kira hanya 3 meter, kiri dan kanan adalah jurang setinggi ratusan meter, dan dilalui untuk jalur naik dan turun. Disini saya sempat menyaksikan evakuasi seorang pendaki wanita yang kehilangan kesadarannya entah karena tipisnya oksigen disini atau karena hipotermia. Pukul 07:00 saya tiba di puncak (3,726 mdpl) dan mengibarkan bendera yang saya bawa. Hari ini, 16 Agustus 2013, sudah ada kelompok mapala yang merayakan upacara bendera di atas. Saya ikut dan mengikuti dengan khidmat. Bendera saya dipinjam juga untuk upacara. Lalu saya mengabadikan pemandangan di atas dengan dslr yang saya bawa.
Mengibarkan bendera merah-putih di puncak Rinjani
Persiapan upacara bendera di Puncak Rinjani

Sampai di atas sini saya belum menemukan Ase, Adam dan Mawar, apakah mereka tidak jadi naik kesini dan memutuskan putar balik arah? Selesai mengambil foto-foto. Saya tadinya ingin berlama-lama disini tapi anginnya dingin, kalau saya hipotermia juga disini siapa yang bakal nolongin?. Akhirnya saya memutuskan untuk turun gunung. Belum sampai saya mencapai turunan saya melihat Ase, Adam dan Mawar di kejauhan memanggil-manggil saya. Saya datangi dan mereka masih berjuang untuk Summit. Ya karena kami sudah bersama selama ini, saya temani mereka di atas (lagi). Setelah mengambil foto-foto bersama, kami memakan bekal makanan ringan yang kami bawa dan turun gunung kembali ke perkemahan.
Foto bersama di Puncak Rinjani
Narsis di Puncak Rinjani

Di jalan turun itu, rasanya lebih berat dari naiknya, terutama tekanan di kaki. Dengan gaya ski pasir pun diprotes pendaki lain karena berdebu. Maka dengan kaki yang menjadi lecet saya memaksakan jalan. Tidak begitu lama, saya mendapat kenalan panitia lomba trail run yang sedang diadakan disini. Kami turun gunung sambil mengobrol, tidak sadar tiba-tiba kami sudah meninggalkan pinggiran kawah dan meninggalkan Ase, Mawar dan Adam sangat jauh. Disini kami berpisah jalan dimana beliau menunggu di pos jaganya sedangkan saya sendirian menuju ke perkemahan. Sampai perkemahan, seperti biasa, air hangat sudah menunggu serta roti bakar sisa semalam. Disini kami makan siang yang dipercepat, artinya pukul 11:00 kami sudah makan siang dengan harapan pukul 13:00 kami sudah selesai berkemas dan turun ke Segara Anakan. Turun lagi? Kaki masih nyut-nyutan juga, hehehe.. Oya, sepanjang perjalanan, banyak terdapat pohon eidelweiss, si bunga abadi. Kebetulan saat itu sedang masa bermekaran.
Bunga eidelweiss bermekaran
Pohon eidelweiss yang ditemukan sepanjang perjalanan ke Puncak

Pentingnya Manajemen Air

Setelah selesai makan siang, kami berkemas dan porter seperti biasa meninggalkan kami duluan. Disini sisa air di hydobag saya tinggal setengah (1 Liter kurang lebih) sisa summit attack tadi pagi dan tidak ada lagi air cadangan lainnya. Saya mengusulkan untuk mengisi ulang perbekalan air namun sudah pukul 13:00, dan Ase tidak mau mengambil resiko kemalaman di perjalanan. Terpaksa kami ikuti dan air yang tersedia harus di-irit sedikit demi sedikit. Awal perjalanan, suasana masih seperti pegunungan, kabut yang tebal melindungi kami dari terik matahari siang itu. Rute yang kami lewati tebing-tebing batu yang menuntuk kelincahan kami melompat dan melipir di dinding, namun dengan beban di punggung kami. Jalan turun sangat panjang, dimana perbedaan ketinggian yang akan kami lewati adalah turun dari 2,700 mdpl ke 2,000 mdpl secara vertikal. Kami menuruni tebing melalui jalur yang sudah terpelihara hingga mencapai titik dimana terdapat sungai kering.. sungai yang awalnya diharapkan menjadi sumber air perbekalan kami. Monyet-monyet juga banyak terdapat disini. Tiba di ketinggian 2,000 mdpl, cuaca menjadi terik, otomatis air sudah habis di tengah perjalanan. Saya pun akhirnya meminta-minta air pada rombongan pendaki lainnya (lagi). Ada saja yang memberi, barang seteguk sudah sangat berharga. Jika dalam kondisi seperti ini, baru terasa betapa pentingnya menjaga ketersediaan air bersih di dunia... Seharusnya para perambah hutan dan perusak hutan dihukum mati saja..

Perjalanan terik ini terasa sangaaaaat panjang. Kaki mulai terseok-seok dan pandangan mulai berkunang-kunang. Saya menjadi yang paling terakhir di rombongan yang sudah melaju duluan. Ase sebagai sweeper menemani saya dan menyemangati saya. Untungnya banyak pendaki baik hati lainnya yang memberi sedikit air untuk mengembalikan kesadaran saya. Ya, saya merasa betul bahwa saat itu saya sudah dehidrasi. Hari sudah mulai gelap dan kekhawatiran Ase beralasan. Jalur savana sulit diprediksi jika sudah malam hari, meskipun berbekal headlight, beberapa kali saya hampir tersasar ke belokan-belokan yang dibuat pendaki sebelumnya untuk buang air besar. Tunggu, jika sudah ada tempat seperti ini, artinya kami sudah dekat. Ya, pukul 18:30 kami tiba di area perkemahan Segara Anakan. Saya langsung merebahkan diri di tenda sambil meluruskan kaki yang mulai keram. Makan malam sudah tersedia, kali ini sayuran dan lauk ayam akan menemani malam ini. Tambahan tuna kalengan juga membuat stamina saya kembali. Malam ini kami harus memulihkan diri karena besoknya kami akan mendaki tebing Plawangan Senaru dan mengakhiri pendakian di RTC.
Sungai dekat camp Segara Anakan

Esok harinya, kami diberi kesempatan hingga pukul 08:00 untuk menjelajahi sekitar, termasuk pemandian air panas alami di bawah, dekat dengan Segara Anakan. Saya lebih memilih menghemat tenaga dan melihat ikan-ikan yang berhasil dipancing oleh pendaki sekitar. Air danau Segara Anakan adalah tawar namun asam, karena mengandung belerang. Ikan yang hidup disini pun dagingnya berbau belerang, sehingga kebanyakan hanya dipancing lalu diikat di pinggir hingga mati. Sungguh biadab, kenapa kalau tidak mau dimakan, ya di-release lagi toh ikannya?. Pagi itu kami menyaksikan upacara bendera 17 Agustus gabungan yang diadakan di tanah lapang Segara Anakan. Sebenarnya saya ingin mengikutinya, namun pukul 09:00 kami harus sudah mulai mendaki pulang kalau tidak mau terlalu kemalaman. Ya, berangkat sepagi apapun disini kecuali para porter, pasti kemalaman di track Senaru nya.
Ikan mas yang dibiarkan mati setelah dipancing, tapi tidak untuk dimakan

Pengalaman Mistis Jalur Senaru

Pukul 09:00 kami berangkat, melewati sungai yang berasal dari danau Segara Anakan, lalu menyusuri tepian danau ke rute pendakian Plawangan Senaru. Heran juga saya bertemu dengan rombongan pe-sepeda downhill disini yang membopong sepedanya. Mau dipakai dimana Pak sepedanya?, lah wong jalannya mirip jalur panjat tebing begitu kok.. Kami akhirnya sampai di titik awal pendakian, 2,000 mdpl menuju 2,700 mdpl kembali. Plawangan Senaru terlihat di atas, terlihat dekat, cuma 700 meter tingginya. Namun jalan yang kami lalui umumnya ditempuh dalam 3 jam. Jalan konsisten menanjak seperti jalur turun Plawangan Sembalun ke Segara Anakan yang kami lalui kemarin, namun versi kebalikannya, kali ini menanjak. Kaki yang keram kemarin malam mulai terasa di awal-awal pendakian, sehingga indahnya pemandangan danau di belakang tidak mampu mengobati kegelisahan saya, apakah saya mampu mendaki hingga Plawangan Senaru. Namun pelan-pelan jalur ini berhasil kami lalui dan saya kembali menjadi rombongan terakhir. Kali ini cuma saya dan Adam.
Jalur menuju Plawangan Senaru
Dari Plawangan Senaru, kami bertemu Widi yang menunggu kami berdua dan mengatakan titik kumpul berikutnya di Pos 3. Kami akan makan siang terakhir bersama porter disana. Jalur turun ke Pos 3 benar-benar mirip turunan puncak Rinjani. Pasir yang sudah terlanjur gembur di atas landasan pasir yang memadat di bawahnya, membuat kami harus menjaga langkah dan keseimbangan jika tidak mau terpeleset dan jatuh. Menahan beban tubuh dan beban bawaan membuat paha dan betis menderita. Setelah melewati Pos 4, Widi yang dari tadi terlihat cepat sekali melibas turunan ini, memperhatikan kami yang turun dengan kesusahan. Widi akhirnya memberi tahukan rahasianya, yaitu melaju dengan zig-zag, supaya salah satu kaki bisa beristirahat. Ternyata benar, dengan melangkah turun secara zig-zag, pijakan menjadi mantap dan kaki bisa lurus untuk beristirahat. Saya mulai menguasai teknik turunan ini dan bahkan melaju lebih cepat meninggalkan Adam dan Widi. Kalau tahu begini saya tidak akan kesusahan saat turunan Plawangan Sembalun ke Segara Anakan dan Turunan puncak kemarin..
Jalan menuju Plawangan Senaru, yang menempel di belakang carrier saya adalah hydrobag

Saya akhirnya sampai di Pos 3. Disini seharusnya ada sumber air namun karena musim kemarau, sumber airnya sangat jelek kualitasnya. Saya maklumi dan pendaki yang baru naik bercerita kalau di Pos 2 ada air terjun yang airnya bisa diminum. Beberapa kali kami melihat peserta lomba trail running internasional yang diikuti oleh atlit-atlit pelari trail yang hebat. Saya yakin pasti ada pos panitianya seperti Mas-mas yang kemarin ketemu di jalur turun dari puncak. Mungkin kami bisa meminta airnya sedikit. Di Pos 3 kami makan siang terakhir bersama porter untuk terakhir kalinya. Resminya, kontrak mereka habis di Pos 3 ini dan akan melaju duluan meninggalkan kami. Ase dan Mawar akan ikut rombongan Porter itu, sedangkan kami akan membagi 2 grup. Grup pertama adalah grup depan dan grup kedua adalah grup belakang. Kami harus berjalan dalam satu grup karena ini sudah pukul 15:00 dan kami akan berjalan malam hari melewati hutan yang lebat. Berbeda dengan jalur Sembalun yang didominasi oleh savana, jalur Senaru didominasi oleh hutan lebat. Saya ditunjuk oleh tim di grup belakang.

Berbekal ilmu baru menuruni jalur yang saya kuasai tadi, saya yang ditunjuk di grup belakang mulai merasa bahwa grup ini terlalu lambat. Bukan masalah jago-jagoan, namun dengan teknik turun yang diajarkan Widi tadi, dengan bergerak makin cepat, maka makin ringan beban ini terasa, terutama kaki yang bisa lurus saat menapak. Saya pun meminta izin untuk ikut rombongan depan dan tidak perlu waktu lama hingga saya menyusul dan menjadi yang terdepan. Grup ini pun mulai mengikuti kecepatan saya dan kami bergerak menjauhi grup belakang. Di grup depan ada Saya, Asmui, Widi, dan Rico. Di grup belakang ada Zicco, duo Wahyu, Sani, Adam, dan Mira. Benar saja, kami tiba di Pos 2 sudah pukul 17:00 dan bertemu pos panitia lomba trail running. Saya yang pandai merayu akhirnya kami mendapat masing-masing satu botol Pocari Sweat (itu juga karena hidung saya tiba-tiba mimisan parah, untung saya membawa kain kasa). Setelah mencapai pos panitia tadi, kami menunggu grup belakang dan mereka pun tiba. Sisa Pocari kami berikan ke mereka untuk dicicipi juga. Sebelum pos 2 tadi ada keluarga bule dan anak-anaknya yang memutuskan berkemah karena sudah kesorean. Sudah pukul 17:00 dan masih agak terang, sehingga kami memberanikan diri mengambil bekal air minum di air terjun di bawah. Sebenarnya sih yang turun adalah Rico dan Asmui. Sesudah itu kami membagi-bagi air yang didapat ke botol minum kami masing-masing. Agak keruh sih, tapi worthed kok dibawa, kalau-kalau dehidrasi lagi. Grup depan lalu berpamitan dengan grup belakang untuk melaju ke RTC. Di antara Pos 2 dan Pos 1, hari sudah petang, dan jalur mulai menjadi gelap. Kami merapatkan barisan dan mengurangi kecepatan.

Di tengah jalan, kami bertemu dengan pendaki dari tim Avtech, dua lelaki dan satu wanita berjilbab, dimana yang wanita sepertinya sedang mengalami masalah. Suasana sudah petang dan makin sunyi, suara binatang-binatang malam sudah mulai bersahut-sahutan. Wanita itu terdengar menangis terisak sambil setengah tersandar ke pohon, sedangkan teman-temannya mencoba menyadarkannya dengan menepuk-nepuk pundaknya. Tiba-tiba ketika kami lewat wanita itu berteriak sangat keras lalu bergumam dengan bahasa yang kami tidak mengerti, dia meronta-ronta, lalu berteriak. Saking keras teriakannya sampai suara binatang malam menghilang dan suasana menjadi sunyi total. Waduh, ada yang kesurupan lagi. Untung ada Mas Asmui, yang dengan sigap menyadarkan wanita itu sambil membacakan doa-doa. Agak berhasil tapi Mas Amsui bilang belum bisa "lepas" total, "susah" katanya. Kelihatan sih, wanita itu menjadi setengah sadar, dan untungnya masih bisa diajak berjalan turun. Carrier si wanita itu dibawa bergantian oleh kedua temannya, lalu diambil alih oleh Mas Widi. Mas Asmui menyuruh wanita itu terus membaca istigfar dan takbir, katanya kaki kanan melangkah istigfar, kaki kiri melangkah takbir. Tujuannya agar tidak diganggu lebih jauh dan menjaga dia tetap sadar. Di sela-sela membaca doa-doa itu si wanita yang berada di depan saya kadang mengeluarkan suara gumaman aneh lagi dan membuat saya takut. Saya meminta bertukar posisi dengan Rico, namun Rico sama takutnya dengan saya. Kata teman-temannya, wanita itu sedang menstruasi. Waduh, kalau tahu sedang menstruasi kenapa nekat jalan di hutan belantara malam-malam? Selain konon bisa diganggu makhluk halus, juga bisa tercium oleh binatang buas. Lalu Widi juga bercerita kalau Mira juga sedang menstruasi hari ini, tepatnya sore tadi di Pos 3. Waduh.. makin khawatir saya dengan grup belakang. Kami akan menghubungi mereka di gerbang Senaru. Selain peristiwa kerasukan pendaki Avtech itu, Rico juga sempat melihat "kembaran" saya saat menyusul saya setelah Pos 1. Dia menepuk bahu saya tiba-tiba sambil terengah-engah sambil mengatakan "lo ada dua". Saya langsung bilang jangan diceritakan disini, nanti saja waktu di Senggigi. Di Pos 1 juga saya merasakan keanehan karena pos yang bisa dipakai istirahat, namun Mas Asmui tiba-tiba seperti menyembunyikan sesuatu dan bilang lebih baik tidak istirahat disini. Katanya dia melihat sesuatu yang berterbangan, seperti kepala atau entahlah.

Akhirnya tepat pukul 21:00 kami sampai di Gerbang Senaru, dan disini ada warung.. iya warung!!. Tempat ini ramai pendaki dan saya pikir disinilah RTC. Air keruh dari air terjun tidak jadi saya minum, saya buang airnya di hydrobag saya di situ. Saya beli saja minuman isotonik dan ternyata warung itu hanya buka kalau ada musim pendakian saja. Yang menjual adalah kakek-kakek dan cucunya yang masih sepantaran SMP. Wanita itu bergabung dengan rombongannya dan mereka berterima kasih kepada grup kami. Saya cek hp, eh ada Sinyal!. Kami mencoba menghubungi Mira namun kami baru sadar kalau sinyal baru ada disini, jadi mungkin Mira masih jauh. Mudah-mudahan tidak terjadi apa-apa padanya. Saya menghubungi keluarga dan begitu pula Asmui dan Rico, untuk mengabarkan kami sudah sampai dengan selamat. Lalu kami menghubungi Ase, mengatakan kami sudah tiba di gerbang Rinjani. Ase baru saja sampai di RTC saat itu. Ternyata dari gerbang ke RTC harus berjalan kaki selama 30 menit. Untung jalannya sudah agak "normal", dimana jalan berupa makadam batu-batu besar. Begitu sampai di RTC, saya yang sudah kelaparan langsung membeli nasi uduk yang dijual oleh Pos RTC. Meskipun sudah dingin dan keras, nasi itu terasa nikmat sekali. Mungkin saya benar-benar kelaparan saat itu. Yang lain menunggu makan malam bersama nanti di Senggigi. Hal ini yang akan disesali oleh teman2 lainnya. Saya lalu ikut antri mandi di RTC, airnya dingin tapi setelah mandi, rasa capek langsung hilang. Kedinginan sehabis mandi, rombongan pendaki yang sedang duduk menunggu jemputannya memberikan kami seteguk air ketan, yaitu fermentasi ketan putih, ya ini ber-alkohol. Rasanya hangat dan saya menjaga diri agar tidak ketagihan. Cukup seteguk saja, sekedar berbasa-basi. Sekitar pukul 23:00 grup belakang tiba. Mereka tidak mendapat gangguan apapun namun mereka berjalan pelan karena memang sudah kelelahan. Setelah semua berkumpul, Ase memanggil mobil jemputan kami yang akan menjemput pukul 24:00.

Selamat Tinggal Lombok

Sesuai perjanjian, kami dijemput pukul 24:00 kali ini menggunakan ELF. Barang-barang dinaikkan di atas ELF lalu semua tertidur pulas kecuali saya. Bagaimana tidak, jalanan yang sepi dan sopir yang kelihatannya mengantuk membuat saya menjadi was-was. Sekitar pukul 02:00 dini hari kami tiba di Senggigi. Sudah ada penginapan untuk kami bermalam disini. Posisinya tepat di depan pantai Senggigi. Namun sesuai itinerari, kami mendapat makan malam, maka Ase memutuskan kita makan pecel Ayam/lele saja karena tinggal itu yang buka jam segini. Yang lain pun sepertinya sudah terlalu mengantuk dan lelah untuk makan. Akhirnya makanan dibungkus, kami makan sambil setengah tertidur, lalu tidur.

Besok paginya, satu per satu dari kami mulai berpamitan. Sani akan menyebrang ke Gili Trawangan dimana keluarganya sedang berlibur. Mira dan Zico menyusul kemudian karena mereka akan menjelajah Lombok jalur darat ke Lombok Timur bersama Dani, anak asli Lombok (batal ke Tambora karena sudah tidak kuat, hehehe muluk-muluk sih rencananya), Ase dan beberapa kawan lainnya akan melalui jalur laut (Pelabuhan Lembar), pulang lewat jalur darat ke Jakarta. Sedangkan Adam akan pulang pagi itu ke Balikpapan. Saya, Wahyu (Aditya) dan Rico akan menjelajah pantai-pantai di Lombok selatan setelah mengantar teman-teman yang lewat Pelabuhan Lembar, soalnya atas saran Ase, kami menggunakan pesawat yang paling sore. Tujuan kami saat itu ke Pantai Selong Belanak, yah lumayan lama kami disana sambil menunggu sore. Pukul 15:00 kami berangkat menuju bandara Lombok. Malam itu kami kembali ke Jakarta dan berpisah di Soetta.
Menikmati sisa waktu di Lombok dengan pergi ke Pantai Selong Belanak

-selesai-
----------------------------------------------------------------------------------

Mengenai Gunung Rinjani
Gunung Rinjani sangat populer di kalangan pendaki internasional. Hal ini terlihat dari terawatnya jalur pendakian dan banyaknya operator pendakian professional yang sering dipakai pendaki mancanegara. Rute pendakian khas daratan Nusa Tenggara, yaitu savana, di jalur Sembalun, jalur pendakian puncak yang berada di bibir kawah yang sempit dan diapit jurang dalam di kanan-kiri, serta hutan yang rapat di jalur Senaru.

Menuju Kesana
Untuk menuju ke Rinjani banyak jalur awal pendakian yang bisa dituju, namun yang paling populer adalah Sembalun dan Senaru. Dari bandara Lombok, kedua tempat tersebut bisa dituju dengan mobil sewaan selama 3 jam. Sangat disarankan menginap terlebih dahulu di desa sekitar Sembalun atau Senaru agar bisa mulai pendakian di pagi hari. Hal ini untuk menghindari terik matahari di savana Sembalun yang menguras tenaga untuk ke Puncak.