Pura Parahyangan Agung Jagatkarta, Pura Terbesar Kedua di Indonesia

Saat itu adalah hari perayaan Seren Taun Guru Bumi. Grup backpacker melalui chatting blackberry mengusulkan untuk menghadiri perayaan tersebut sekaligus menjelajah Bogor dalam satu hari. Rute yang kami rencanakan saat itu adalah Perayaan Seren Taun atau yang dikenal sebagai Sedekah Bumi, lalu ke Pura Jagatkarta, terakhir basah-basahan di Curug Nangka. Semua itu akan dilakukan dengan full transportasi umum, tidak boleh ada yang menggunakan kendaraan pribadi. Saya yang kebetulan berdomisili di Bogor, datang dengan sepeda motor, terpaksa mengikuti peraturan mereka dengan memarkirkan kendaraan saya di KFC Stasiun Bogor.
It was the day of Seren Taun Guru Bumi festival. My backpacker group had initiate a trip via blackberry messenger to attend the festival and also exploring Bogor in one day. The selected route was Seren Taun Festival that also known as Sedekah Bumi, then to Jagatkarta Temple, then enjoying waterfall at Curug Nangka. The rule is we had to use public transportation at all cost. I lived in Bogor, so I came to station using motorcycle, that I had to leave my motorcycle at KFC Bogor Station parking lot.
Tangga menuju bangunan Pura // The stairs to temple's building
Bangunan Pura terlihat dari taman // The Temple building seen from the garden
 
Tulisan kali ini akan menceritakan mengenai salah satu tempat yang kami datangi saat itu, yaitu Pura Jagatkarta. Pura ini bernama lengkap Pura Parahyangan Agung Jagatkarta, terletak di desa Taman Sari, Ciapus merupakan pura terbesar kedua di Indonesia setelah Pura Besakih di Bali (menurut Wikipedia). Pura ini terletak di kaki Gunung Salak, dan letaknya cukup jauh dari tepi jalan utama. Karena kebetulan kami carter angkot dari Kampung Budaya Sindang Barang, kami minta diantar ke dalam lokasi Pura. Begitu keluar dari jalan utama dan mengikuti jalan menuju Pura, jalan yang sedikit mendaki dengan pemandangan padang rumput di kiri-kanan menyambut kami. Namun sejauh jalan ini pulalah kami harus berjalan kaki kembali ke jalan utama. Begitu sampai lokasi pura, wangi dupa terasa pekat. Benar-benar suasana Bali. Kami menaiki anak tangga hingga ke bagian dimana tamu wajib melapor. Disini ada peraturan, wanita yang sedang datang bulan tidak boleh masuk. Pakaian pun harus sopan, sehingga celana pendek atau rok pendek dilarang. Disediakan kain sarung untuk dipinjam jika ingin masuk. Selain itu, wajib memakai kain ikat yang disediakan, dimana laki-laki memakai kain ikat berwarna kuning sedangkan wanita memakai kain ikat berwarna putih. Mirip-mirip jika mau memasuki Candi Borobudur, tapi kain ikatnya berupa kain batik.
This writing will tell one place we visited that time, which is Pura Jagatkarta. This Temple has full name Pura Parahyangan Agung Jagatkarta, located at Tamansari village in Ciapus. It was the second largest temple in Indonesia after Besakih in Bali (according to wikipedia). This temple lied in the Gunung Salak area and a bit far from public road. Fortunately, we rent a public transport from Cultural Kampong Sindang Barang to picked us up to the temple. As we move into the road to temple, the open field scenery lies along the road. It was beauty but it also the route we have to walked back to public road. As we arrived, the smell of burnt incenses fill the air, just like Balinese air. We walked up through the steps and reached the reception area. There were rules for visitors; Women in period shall not enter and passed the sacred zone, so waiting here at the reception will be a consequence. The visitor shall also dressed modestly, no shorts no mini-skirt. The sheath were available to be borrowed. On top of that, we shall wear traditional belt, where yellow belt for Men and the white for Women. Just like the rules at Borobudur temple, but there was Batik.

Batas suci // The sacred demarcation zone
Setelah semua pakaian siap, kami harus meninggalkan alas kaki disini. Di bagian depan Pura, terdapat lapangan luas yang diberi tikar untuk penganut Hindu bersembahyang. Di sekeliling lapangan ada bangunan luas mirip pendopo yang mengarah langsung ke pemandangan perbukitan di bawahnya. Tidak jauh dari sana, ada patung Ganesha, yaitu Dewa Hindu berbadan manusia berkepala gajah. Setelah berkeliling, maka kami tadinya akan melanjutkan lebih dalam lagi. Dari lapangan ada tangga menuju pintu masuk bangunan Pura, namun terdapat peringatan bahwa daerah tersebut hanya boleh dimasuki oleh penganut yang akan bersembahyang. Kami menghormati peraturan tersebut, sehingga kami berpikir kami akan menyudahi kunjungan disini. Namun tidak disangka, pemuka agama disana, yaitu Pak Made menyapa kami berkenalan. Beliau mulai menceritakan sejarah Pura tersebut dan mengajak kami berkeliling. Saat itu kami tidak menyadari bahwa akhirnya kami diizinkan masuk ke dalam bangunan Pura tersebut.
After all attire ready, we shall leave our shoes/sandals here, beyond sacred zone, we shall bare footed. In front of the temple, there was a large garden where Hindunese did the pray.  Around the garden, there was a building facing the scenery of the hills below. Not far from there, lies a Ganesha statue, Hindu's God has human body and elephant's head. After that we decided to went further. From the garden, there was stairs to the Temple's building, but there was a warning stated only hindunese pilgrim that allowed to enter the temple. Respecting the rules so we canceled our intention, so we returned to the garden area. Fortunately, the religious counselor, Pak Made welcomed us open handed.  He tell the story of this temple and invited us to come inside the temple.

Berfoto di depan Patung Ganesha // Taking photos in front of Ganesha statue

Di dalam bangunan pura terdapat lapangan yang diberi tikar. Setelah itu Pak Made mengajak kami duduk dan mengajak kami melakukan meditasi. Beliau menyuruh kami berdoa dalam hati,  dalam agama kami masing-masing dan menikmati kesunyian di dalam Pura ini. Setelah meditasi, beliau berdiskusi mengenai manfaat meditasi dan arti daerah-daerah lainnya di dalam Pura ini, termasuk patung macan hitam dan macan putih yang melambangkan kerajaan Pajajaran, tepatnya Prabu Siliwangi. Terdapat beberapa pondokan kecil yang hanya boleh dimasuki oleh pemuka agama hindu untuk memimpin doa. Setelah menjelaskan beberapa hal tersebut, Pak Made pamit untuk ke dalam Pura dan mengizinkan kami untuk tetap berada disana namun tetap mengikuti peraturan yang sudah dijelaskan. Karena sudah semakin sore sedangkan kami masih harus ke Curug Nangka, maka kami memutuskan untuk pamit juga. Terima kasih Pak Made.
Inside the temple, there was a larger ground for praying. Pak Made invited us to do meditation. Despite of spelling chants, he tell us to pray silently according to self's religion and enjoying the serenity in this temple. Finished meditation, he discussed about the benefit of meditation and also the rules and history of the areas inside the temple, including the statue of black panther and white panther symbolizing Pajajaran Kingdom, especially Prabu Siliwangi. There were small building that very forbidden that only religious leader that can sit in the building and leading the chants. After explaining the information, Pak Made say his permit to leave us inside the temple for praying and let us stay inside if we want but still following the rule. But the day getting late and we still had to go to Curug Nangka waterfall. So we say goodbye to him as well. Thanks Pak Made.

Mendengarkan arahan dari Pak Made // Listening the direction from Pak Made

Catatan : sebagian foto diambil dari album teman saya, Mbak Fitri Rosdiani, saya ditag juga kok
Notes : some photos taken from my friend's album, Mbak Fitri Rosdiani, I get tagged too.
Foto bersama di dalam kompleks Pura // Taking photos inside the temple