Episode Blusukan Muara Badak, Bag.1 (Desa Gas Alam)

Hari pahlawan. Hari ini diperingati sebagai hari pahlawan mengenang peristiwa 10 November 1945 dimana terjadi peristiwa heroik untuk mempertahankan kemerdekaan Indonesia yang memakan ribuan korban dari pejuang rakyat. Peringatan tadi pagi dilakukan dengan membunyikan klakson selama 30 detik, dilanjutkan dengan mengheningkan cipta selama 10 menit pada pukul 09.05 pagi. Secara pribadi, saya akan melakukan olahraga sepeda menyusuri perkampungan penduduk sekitar camp atau kerennya disebut blusukan (meskipun nggak nyambung banget dengan tema hari pahlawan sih).
 
Pada rangkaian tulisan kali ini, saya ingin memperkenalkan desa Muara Badak yang mencatatkan sejarah perkembangan LNG di Indonesia. Pada bagian pertama saya akan memulainya dari pusatnya, yaitu desa Gas Alam, Muara Badak.
 
Asal muasal desa Muara Badak sendiri bukan desa yang berdiri oleh penduduk asli Kalimantan, melainkan dari pulau seberang, Sulawesi Tenggara. Kalimantan Timur memang berbatasan langsung dengan Selat Makassar. Kalimantan Timur saat itu berada di bawah naungan kerajaan islam tertua di Indonesia, Kerajaan Kutai Kartanegara. Ada banyak versi mengenai asal-usul desa ini yang pernah saya dengar dari sesama pekerja, namun terdapat tiga versi cerita asal muasal desa ini. Selengkapnya bisa melihat ke sumber berikut.


Yang menjadi kesamaan dalam ketiga cerita tersebut adalah asal muasal nama Muara Badak. Meskipun mengandung nama badak, namun asal kata badak bukan berasal dari nama hewan bercula berkulit tebal itu, namun berasal dari tanaman tampura badak yang dulu terdapat di sekitar sini. Memakai nama muara karena daerah ini memang menjadi bagian dari anak-anak sungai dari Sungai Mahakam, sungai terpanjang di Indonesia, yang bermuara ke Selat Makassar.
 
Dari ketiga cerita tersebut, bisa ditarik kesamaan bahwa sekitar tahun 1800-an penjelajah Bugis (atau suku lainnya dari Sulawesi Selatan) datang menghadap Sultan Kerajaan Kutai Kartanegara di Tenggarong dan meminta restu atas sebidang tanah di daerah Muara yang kaya. Di tanah tersebut banyak tumbuh tanaman tampura badak, sehingga daerah tersebut pun akhirnya dinamakan Muara Badak.
 
Lalu pada sekitar masa penjajahan Belanda, sudah dilakukan eksplorasi besar-besaran di daerah ini dan beberapa tempat potensial penghasil minyak di Indonesia. Pada tahun 1968, berbekal data eksplorasi dari pemerintah Hindia Belanda, Pertamina yang saat itu masih memiliki fungsi regulasi (saat ini dipecah menjadi SKK Migas di bawah Kementrian ESDM), memberi kontrak bagi hasil kepada HUFFCO, perusahaan perminyakan dari Houston, Texas, untuk mengelola sebuah area seluas 631,000 hektar di daerah delta Sungai Mahakam, tepatnya di daerah cekungan Kutai, yang kini dikenal sebagai blok Sanga-Sanga. Saat itu gas bukan komoditi yang dicari, melainkan minyak. Namun hasil dari eksplorasi pertama di daerah Badak, yang ditemukan adalah gas alam dengan jumlah yang sangat besar. Daerah ini dinamakan Badak-1 yang merupakan asal-usul Lapangan Badak. Lokasi lainnya yang memiliki potensi yang sama adalah di Arun, Aceh Utara. Sayangnya, saat itu gas alam belum memiliki nilai jual ekonomis seperti minyak bumi. Lokasinya yang terpencil dan pasar yang belum jelas, menyebabkan sumber kekayaan alam ini hampir saja ditinggalkan. Namun atas usulan dari Direktur Utama Pertamina saat itu, Dr. Ibnu Sutowo, gas alam itu akan diolah menjadi gas alam cair. Industri gas alam cair pun saat itu belum booming di dunia, karena baru muncul sekitar 4-5 tahun sebelumnya. Akhirnya usulan ini disetujui oleh Presiden RI saat itu, yaitu Soeharto.
 
Berbekal kepercayaan diri yang mantap, Pertamina didukung oleh HUFFCO dan mitra usahanya, berhasil membuat kontrak penjualan gas alam cair pada 3 Desember 1973 untuk lima Industri dan pembangkit listrik di Jepang untuk kurun waktu 20 tahun yang dikenal sebagai kontrak 1973. Enam bulan berikutnya, yaitu Juni 1974, berdiri kilang pengolahan gas alam cair di pantai Bontang untuk memenuhi kontrak tersebut  yang dinamakan PT. Badak. Nama PT. Badak dipilih untuk mengabadikan nama lokasi sumur pertama yang menjadi tonggak sejarah berdirinya kilang ini.
 
Berkat keberadaan kekayaan alam ini, HUFFCO mulai merekrut penduduk lokal untuk menjadi pekerjanya, sehingga penduduk yang sebelumnya adalah petani dan nelayan menjadi lebih makmur. Seiring dengan bertumbuhnya fasilitas dan roda ekonomi di daerah Lapangan Badak, daerah ini mulai menjadi daya tarik penduduk sekitar untuk tinggal di sekitarnya. Desa yang dibentuk pertama kali dan terdekat dengan fasilitas camp HUFFCO Lapangan Badak diberi nama Desa Gas Alam. Di desa ini terdapat dua tugu yang menjadi simbolik kejayaan gas alam di daerah ini. Saat ini dibangun tugu baru di simpang 6, yaitu persimpangan yang menjadi pintu masuk utama menuju Lapangan Badak.
 
Tahun-tahun berikutnya, kegemilangan gas alam ini berlanjut dengan ditemukannya lapangan-lapangan lainnya, yaitu Nilam, Lempake, Semberah, Mutiara, Pamaguan, Beras, Lailawi, dll. Selain itu, di dekat area konsesi migas Blok Sanga-Sanga, ditemukan lagi blok baru, yaitu blok Mahakam yang terkenal hingga kini. Blok tersebut dioperasikan oleh perusahan Prancis, Total Indonesie. Pada masa kini, potensi blok Sanga-Sanga sudah tidak sebesar dahulu.  HUFFCO mengalihkan hak operasinya ke VICO yang sampai saat ini beroperasi. Sumber daya gas alam yang mulai menurun produksinya, menyebabkan eksplorasi bergeser ke area lepas pantai. Mulai muncul lapangan-lapangan baru di lepas pantai, seperti Gendalo-Gehem, dan lain-lain.
 
Siapa sangka, daerah yang dahulu hanya muara tepian yang menjadi kampung nelayan Bugis kini menjadi kota-kota Besar yang kita kenal sebagai Bontang, Samarinda, dan Balikpapan. Bahkan disebut-sebut sebagai Kabupaten terkaya di Indonesia.
 
Sumber : dari obrolan2 di warung-warung, blog komunitas fotografi Muara Badak yang disebutkan di atas, laporan KP (nama pengarangnya dirahasiakan, karena umumnya bagian ini copy paste, wkwkwk), dan penalaran penulis sendiri.
Disclaimer : kalau ada bagian di dalam ulasan ini yang kurang tepat, silakan dikomentari dengan melampirkan sumber yang valid. Jika terbukti valid, saya dengan senang hati merevisi perbaikan tersebut.
Tipikal perkampungan Muara Badak, rumah Panggung di atas rawa-rawa
Tugu Simpang Enam