Pusat Rehabilitasi Sang Primata Asli Kalimantan (Bag-2 TN Tanjung Puting)

Berawal dari peringatan Hari Bumi atau bahasa londo nya, "Earth Day", saya yang begitu antusias mengkoordinir teman-teman di departemen kantor saya untuk lomba menanam pohon, saya memikirkan hal yang lebih jauh dari itu. Bulan September lalu saya berkesempatan untuk mengunjungi Pusat Rehabilitasi Orang Utan Kalimantan di Borneo Orangutan Survival (BOS) Samboja, Kalimantan Timur dalam suatu acara kantor. Di sana, saat sesi tanya jawab pada malam hari di Samboja Eco-Lodge,saya menanyakan apakah ada suatu kerjasama antara Pusat Rehabilitasi di Samboja dengan Pusat Rehabilitasi lainnya di Kalimantan Tengah, yang konon terluas di dunia? Kenapa tidak dilepaskan disana tapi mencari tempat sendiri? Jawaban yang saya dapat dari pengelolanya terkesan seperti ada pertentangan, mungkin konsep atau prinsip rehabilitasinya, dimana di Samboja Orangutan yang trauma direhabilitasi dan diliarkan dalam lingkungan yang steril tanpa kontak dengan manusia, sedangkan di tempat lain sudah seperti bahan tontonan/atraksi? Ya!.. saatnya mencari tahu atau bahasa kerennya Tabayyun..


Seekor bayi Orang Utan dan Induknya yang protektif
Kebetulan satu hari setelah Hari Bumi, ada teman di sosmed saya mengajak untuk Live On Board (LOB) di Taman Nasional Tanjung Puting di Kalimantan Tengah. Nggak ngerti "Live On Board"?, Live On Board itu artinya metode menjelajahi suatu daerah selama berhari-hari dengan menggunakan Kapal dan kita menginap di atasnya. Jelas? Oooohh. Perjalanan kali ini sistemnya share cost, seperti biasa.. Namun karena LOB, sudah ada patokan harga disana, sisa biayanya akan kami bagi-bagi. Tiket pesawat dikoordinasi masing-masing, dimana calon peserta dianggap sebagai peserta kalau sudah memegang tiket pesawat, supaya jelas, berapa banyak biaya yang harus dibagi disana. Kota tujuan pesawatnya adalah Pangkalan Bun, bukan Palangkaraya ya, memang ada dua bandara di Kalimantan Tengah. Bandara Pangkalan Bun sebenarnya adalah pangkalan militer yang difungsikan juga terbatas untuk bandara sipil, mirip-mirip Bandara Halim dan Bandara Adisucipto. Bandara Pangkalan Bun ini terkenal sejak ada kejadian jatuhnya Pesawat Air Asia yang menyita perhatian dunia, dimana pusat komando evakuasi nya di Bandara ini. Hanya ada dua Maskapai yang beroperasi disini, yaitu Trigana dan Kalstar. Pada perjalanan ini kami memakai Kalstar karena penerbangannya sesuai dengan itinerari perjalanan kami, yaitu perjalanan sore, dimana sebagian dari kami masih ada yang kerja sebelum besok libur karena Mayday atau Hari Buruh. Kamis, 30 April kami rencananya berkumpul di Terminal 1C Bandara Soetta. Di antara peserta trip kali ini, saya sudah kenal Mamat, Teguh dan Sabrina/Memey, sama Anggi lah meskipun lewat medsos. Sisanya seperti Wulan, Pak Rey dan Bu Ita, Irma dan Lala, saya baru mengenalnya kali ini.

Kami bersepuluh

Perjalanan Jakarta-Pangkalan Bun ditempuh sekitar 1 jam 15 menit, dan sore menjelang Magrib kami tiba di Bandara Iskandar, Pangkalan Bun. Malam itu kami menginap di penginapan "Hotel Tiara" yang tidak jauh dari Kota Pangkalan Bun. Di dekat penginapan ada pasar dimana kami membeli perbekalan untuk perjalanan kami nanti. Memang secara fasilitas LOB sudah full service, namun tidak ada salahnya membawa bekal makanan kecil untuk selama perjalanan.

Dua kapal kelotok yang kami sewa untuk Live on Board

Parkiran kapal kelotok untuk Live on Board di sekitar Camp Leakey
Pada pagi harinya, Pak Andreas, Guide lokal kami menjemput ke Penginapan. Dengan dua mobil Xenia, kami diantar ke Pelabuhan Kumai, tempat kapal LOB kami berlabuh. Sekedar tips, sebelum melakukan perjalanan ke Taman Nasional Tanjung Puting, minta ke penyedia kapal LOB agar menyediakan air minum galon untuk meminimalkan sampah botol plastik air mineral selama perjalanan. Kami masing-masing membekali diri 2 botol air minum 1L dan 1 botol 600mL untuk isi ulang dan bisa dibawa selama trekking, namun lebih baik jika membawa botol minuman sendiri. Akhirnya kami sampai di jalan sebelum Pelabuhan Kumai. Ada warung dan kami harus berjalan melintasi rumah warga dan dapur warga hingga tiba di dermaga penduduk untuk kapal nelayan.
Menuju dermaga belakang ruma-rumah nelayan
Seperti inilah kalau kedua kapal berjalan bergandengan

Dua kapal LOB sudah siap menyambut kami. Meskipun kami hanya bersepuluh, namun kami menyewa dua kapal. Terlalu besar sih, sehingga diputuskan selama perjalanan kami akan berada di satu kapal sedangkan kapal lainnya akan merapat jika waktu makan dan tidur, karena kami semua tidur di bagian dek atas yang terbuka. Saat tidur, hanya kelambu yang memisahkan kami dengan udara malam Kalimantan. Kapal ini bisa dibilang sangat besar untuk ukurannya. Di buritan terdapat kamar-kamar yang sebenarnya diperuntukkan juga untuk tamu. Dapur luas dan kamar mandi/WC tersedia dua unit tiap kapal. Air bersih didapat dari air sungai yang dipompa. Di dek atas, bisa disulap menjadi ruang serba guna, dimana saat jam makan bisa menjadi ruang makan lengkap dengan meja makannya, saat perjalanan ruang berkumpul dengan karpet yang empuk, atau ruang tidur saat malam hari. Disini di bagian depannya terdapat kursi santai dua buah untuk masing-masing kapal. Ruang kemudi dan ruang tidur kru kapal juga tidak kalah nyamannya. Untuk menghabiskan waktu selama malam hari, saya membawa empat pak kartu gaple sedangkan Memey membawa satu set kartu UNO. Perjalanan LOB ini direncanakan selama 3 hari 2 malam.

Kursi santai ya dipakai santai

Bersantai di anjungan kapal
Hari pertama kami menyusuri Sungai Sekoyer. Perjalanan sepanjang hari ini memang akan membosankan bagi yang tidak menikmati alam bebas. Tidak ada sinyal seluler disini, bahkan untuk telpon/sms. Udara hutan tropis Kalimantan yang panas lembab membuat tubuh kami berkeringat. Saya lebih suka berada di bagian depan di kursi santai menikmati terik matahari yang mulai menyengat. Sunblock wajib dibawa disini, kalau tidak, pakailah manset. Jangan lupa persiapan meminum obat malaria untuk pencegahan. Sungai Sekoyer berair coklat dan di kiri kanan terdapat desa-desa tradisional. Disini masih terlihat budaya dayak asli, dan masyarakat dayak yang menggantungkan hidup dari memancing/berkebun/bertani. Beberapa kali terlihat kapal-kapal nelayan yang sedang memancing, dimana Kapal kami tiba-tiba mengurangi kecepatan agar tidak mengganggu aktivitas penduduk yang sedang memancing. Kami juga melewati beberapa pos pemantauan dan pos konservasi orang utan yang akan kami kunjungi hari berikutnya saat perjalanan pulang. Meskipun pusat konservasi orang utan, jangan harap melihat orang utan saat menyusuri sungai karena orang utan tinggal di dalam lebatnya hutan, jauh ke tengah daratan, jarang yang terlihat di pinggir sungai apalagi di siang hari. Yang paling mungkin adalah melihat kumpulan bekantan, itu pun hanya sekelebat. Mereka aktif di sore hari dan akan terlihat berkumpul di pepohonan pinggir sungai.

Stand by siapa tau ketemu makhluk hutan untuk difoto

Penduduk sekitar yang memancing di sekitar Sungai Sekoyer
Hari itu tujuan kami adalah ke Camp Leakey. Setelah makan siang di Kapal, kami tiba di Camp Leakey. Perbatasan sungai yang tadinya coklat hingga menjadi hitam merupakan petunjuk kita memasuki cabang sungai yang berasal dari arah Camp Leakey. Camp Leakey adalah salah satu pos pemantauan dan konservasi Orangutan. Di sana terdapat silsilah keluarga orang utan yang telah direhabilitasi dan telah ber-regenerasi turun temurun. Masing-masing diberi nama sesuai huruf depan indukannya (ibu orang utannya). Tujuan kami saat itu adalah menyaksikan feeding time yaitu waktu memberi makan orang utan. Kita harus trekking ringan untuk menuju lokasi feeding. Seperti dugaan saya, ada tempat khusus seperti balai yang menjadi tempat meletakkan makanan untuk orang utan. Waktu feeding disini dimulai pukul 14:00. Makanan yang disediakan adalah pisang kepok serta semangkuk susu. Katanya di dalam susu itu diberi vitamin dan antibiotik. Pengunjung disediakan podium yang terdapat tempat duduk untuk mengamati.

Feeding time

Dengan panggilan-panggilan khas dari penjaganya, akhirnya orang utan pun berdatangan dari segala penjuru. Karena orang utan disini masih terbilang liar, kami harus menjaga jarak dengan orang utan yang berdatangan. Peraturan lainnya adalah tidak menggunakan kilat/flash kamera serta tidak berisik karena suara berisik akan membuat orang utan trauma dan pergi menjauh. Selain orang utan, hewan-hewan hutan lain pun tertarik dengan makanan melimpah di balai tersebut, misalnya kawanan babi hutan, gibon dan monyet makak abu-abu. Selain melihat feeding orang utan, juga terdapat museum edukasi "Carolyn Townson" mengenai sejarah orang utan, silsilah dan ekologi di kawasan Tanjung Puting. Pada sore harinya kami meninggalkan kawasan Camp Leakey dan akan berlabuh di titik istirahat kami, sebuah pinggiran sungai yang bertemu rawa yang luas. Aktifitas kami malam itu adalah bermain kartu, mendengarkan cerita Pak Andreas, serta memancing ikan baung. Memancing sebenarnya tidak diperbolehkan di kawasan ini, hehehehe, jangan ditiru ya, karena kawasan ini terdapat ikan arwana yang dilindungi. Selain itu di kawasan ini terdapat buaya.

Perbatasan air keruh kecoklatan dan air jernih kehitaman, artinya sudah masuk kawasan Taman Nasional

Gerbang masuk menuju Camp Leakey
Pagi harinya kami rencananya akan menuju ke Camp rehabilitasi berikutnya di Pondok Tanggui, Resort Pesalat, dan lokasi pusat rehabilitasi tanaman hutan dan tanaman obat endemik Demplot. Di pagi itu, di kejauhan terdengar sayup-sayup suara gergaji mesin. Tak disangka di kejauhan hutan setelah rawa-rawa, terdengar suara burung yang terdengar seperti dahan patah. Sambil terus mengamati, akhirnya sosok burung hitam besar penghasil suara tersebut terbang di antara pepohonan di kejauhan. Itu adalah burung hornbill atau burung enggang. Bahkan saya terkesima tidak sempat mengabadikannya dengan kamera yang sudah stand by di tangan saya. Selain itu selama perjalanan ke Pondok Tanggui, ekosistem pagi hari di Sungai Hitam berbeda dengan kemarin sore. Banyak burung hutan berterbangan, mungkin sejenis nuri karena berwarna hijau yang terbang berkelompok. Selain itu juga ada burung kingfisher besar yang berwarna kuning hitam berparuh merah, serta burung butbut yang dikenal karena dijadikan minyak penyembuh patah tulang.

Kingfisher kuning hitam berparuh merah, sangat berbeda dengan kebanyakan kingfisher yang biasanya berwarna biru-putih

Pukul 10:00 kami tiba di pos konservasi pondok Tanggui yang kami lewati kemarin untuk menyaksikan feeding lainnya. Disini kami harus bergegas karena waktu feeding adalah Pukul 10:30. Kali ini trekking lebih ringan namun panas dan udara lembab. Disini baru terasa untung saya memakai sepatu trekking karena jalurnya berkerikil, lagipula jalur pulang kami mengambil jalur hutan yang lebih teduh namun lebih hutan. Disini kami tidak terlalu lama dan kembali ke kapal untuk makan siang. Setelah makan siang, kami menuju ke konservasi tanaman hutan dan obat endemik Demplot. Sedikit trekking ke kawasan tanaman obat, kami bertemu dengan penjaga hutan yang melakukan penghijauan di sekitar Taman Nasional. Di kawasan ini terdapat macam-macam tamanan hutan untuk tujuan konservasi. Saya pun menemukan beberapa tanaman jamur yang berwarna merah menyala yang saya yakini pasti beracun. Pak Rey membawa buah tangan berupa bibit tanaman gaharu untuk kebun di rumahnya. Oya, hati-hati karena jalan kayu menuju ke tempat ini licin ditumbuhi lumut serta dermaganya yang katanya ada buayanya. Pukul 16:00 kami tiba di Resort Pesalat. Feeding time di tempat ini pukul 16:00. Medan menuju tempat feeding menurut saya ini yang paling sukar karena ada kubangan-kubangan air dan akar-akar pohon yang melintang di jalan. Namun di tempat inilah saya akhirnya melihat langsung orang utan jantan dominan yang sangat besar. Orang utan jantan bisa dibedakan dari cekungan di pipi nya dan ukuran tubuhnya yang besar dan kekar.
Jamur yang terdapat di area pembibitan tanaman obat
Orang utan jantan

Sore harinya kami mengamati mencari sarang buaya dan lokasi kawanan bekantan. Kami tidak menemukan buaya, namun kami menemukan banyak sekali Bekantan. Mereka sudah dalam posisi bersarang dan bersiap tidur sehingga tidak peduli dengan keberadaan kami yang parkir dekat sekali dengan pohon tempat mereka bernaung. Mereka hidup berkelompok dimana kawanan itu memiliki seorang pemimpin kawanan yang terlihat dari sifat berkuasanya. Untuk membedakan jantan dan betina, jantan berukuran lebih besar dan "anu" nya jantan berwarna merah dan katanya selalu ereksi (buset). Jackpot hari ini adalah saya melihat seekor burung Stork atau bahasa lokalnya Sandang Lawe, yang merupakan satu dari 20 burung terlangka di bumi, namun sayang kondisinya sedang gelap karena sudah hampir malam. Yang membuat saya begitu yakin bahwa itu adalah burung Stork (Ciconia stormi) adalah bentuk badannya, paruhnya, bentangan sayapnya, serta tengkuk leher burung itu yang berwarna putih, kontras dengan badannya yang hitam. Ukurannya juga besar, dan saya kira hanya bangau heron biasa. Malam harinya kami disuguhi pemandangan indah dimana permukaan sungai dipenuhi kunang-kunang berterbangan. Mereka ternyata bersarang di sekitar pohon nipah yang banyak berada di sisi sungai.
Gulai ikan baung campur ikan laut yang dibawa dari Kumai
Makanan siput yang katanya khas dari Nelayan Kumai, mirip gonggong, namun rasanya mirip tutut

Malam itu adalah hari terakhir pengamatan orang utan dan kami berdiskusi dengan guide kami Pak Andreas. Tidak lupa ikan baung yang kami tangkap malam kemarin menjadi santapan malam ini. Besoknya kami langsung diantar ke Pelabuhan Kumai karena Lala harus mengejar pesawat pagi. Setelah mengantar Lala, kami mengunjungi Istana Kuning dan pusat oleh-oleh sebagai bonus. Kota Pangkalan Bun ini juga terkenal sebagai penghasil batu Kecubung, dan saya membeli mentahannya (raw) untuk oleh-oleh buat Ayah. Akhirnya pada sore harinya kami kembali ke Jakarta menggunakan maskapai yang sama.
Yang berwarna merah di bawah perut Bekantan jantan apaan hayoo?

Pohon tempat bernaung kawanan bekantan

Lihat tengkuknya yang berwarna putih?
Akhirnya saya menemukan jawaban atas pertanyaan saya, bahwa memang konsep me"liar"kan orangutan versi BOS dan versi Taman Nasional Tanjung Puting memang berbeda, dimana interaksi dengan manusia di kawasan Taman Nasional Tanjung Puting lebih banyak sedangkan di BOS sangat dibatasi. Tapi kedua-dua nya diperlukan karena pengalaman melihat langsung interaksi orang utan di alam liar yang "mudah dijangkau", adalah pengalaman yang berharga dan bisa menumbuhkan kecintaan pada hewan ini dan juga alam habitatnya.

Berfoto bersama kru kapal yang berseragam orange, minus saya, Memey dan Teguh yang jadi fotografer dadakan
Foto keluarga, selamat jalan Tanjung Puting, dari kamera Memey

-selesai-

Gallery :